Meluaskan ruang belajar

11. Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan AllahMaha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. 58. Al Mujaadilah : 11. (Berbagi ilmu di ruang Majlis yang luas ini "ngeblog")

مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ بِهِ طَرِيْقًا اِلَى الْجَنَّةِ ـ رواه مسلم

“Barang siapa menempuh suatu jalan untuk menuntut ilmu maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim).

Ilmu dan Iman

Keilmuan kita harus dibarengi dengan iman, begitu juga iman harus dibarengi dengan ilmu, agar kita tidak salah langkah dan menjadi ilmu yang bermanfaat.

Dari Buraidah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

Hakim itu ada tiga, dua orang di neraka dan seorang lagi di surga. Seorang yang tahu kebenaran dan ia memutuskan dengannya, maka ia di surga; seorang yang tahu kebenaran, namun ia tidak memutuskan dengannya, maka ia di neraka; dan seorang yang tidak tahu kebenaran dan ia memutuskan untuk masyarakat dengan ketidaktahuan, maka ia di neraka.” Riwayat Imam Empat. Hadits shahih menurut Hakim.

Kamis, 05 September 2013

PERAMPOKAN MENURUT IMAM HANAFI

A.     PENGERTIAN HIRABAH
Hirabah adalah pembegalan (qat’u at-tariq) atau pencurian besar. Menamakan pencurian dengan pembegalan adalah bentuk majas, bukan hakikat, karna pencurian adalah pengambilan harta secara sembunyi-sembunyi, sedangkan pembegalan adalah pengambilan harta secara terang-terangan. Akan tetapi, dalam pembegalan terdapat bentuk sembunyi-sembunyi, yaitu sembunyinya pelaku dari imam (Pengiasa atau kepala Negara) dan orang yang memwakilinya dalam keamanan. Karenanya, pencurian tidak dinamakan pembegalan kecuali ia memenuhi beberapa ketentuan yang membuatnya di anggap sebagai pencurian besar. Jika dinamakan pencurian saja, ungkapan tersebut tidak akan dipahami sbagai pembegalan. adanya beberapa ketentuan ini adalah tanda-tanda majas.
B.     Antara Pencurian (Sariqah) Dan Perampokan/Gangguan Keamanan (Hirabah)
Walaupun tindak pidana dinamakan pencurian besar (sariqah qubra), ia tidak benar-benar mirip dengan pencurian. Pencurian adalah pengambilan harta secara sembunyi-sembunyisedangkan hirabah adalah keluar (rumah) untuk mengambil harta dengan cara paksa. Unsure pencurian yang paling besar adalah mengambil harta saja, sedangkan unsur haribah adalah keluar untuk mengambil harta, baik pelaku mengambil harta maupun tidak. Seseorang dikatakan pencuri jika ia mengambil harta secara sembunyi-sembunyi, dan dikatakan muharib (perampok/pengganggu keamanan) jika ia berada dalam beberapa kondisi. Yaitu:
·         Jika ia keluar untuk mengambil harta dengan cara kekerasan lalu menakut-nakuti orang yang berjalan, tetapi ia tidak mengambil harta dan membunuh orang.
·         Jika ia keluar untuk mengambil harta dengan cara kekerasan lalu mengambil harta, tetapi tidak membunuh.
·         Jika ia keluar untuk mengambil harta dengan cara kekerasan lalu membunuh, tetapi tidak mengambil harta.
·         Jika ia keluar untuk mengambil harta dengan cara kekerasan lalu mengambil harta dan membunuh.
Selama seseorang keluar dengan niat ingin mengambil harta menggunakan kekerasan dan ia berada dalam salah satu dari empat kondisi ini maka ia dianggap muharib (perampok/pengganggu keamanan).
Imam Abu Hanifah , Ahmad bin Hanbal, dan Ulama Syi’ah Zaidiah mendefinisikan haribah sebagai keluarnya seseorang untuk mengambil harta dengan cara kekerasan jika keluarnya menimbulkan ketakutan pengguna jala, mengambil harta atau membunuh seseorang. Hirabah menurut sebagian ulama adalah upaya menakut-nakuti orang di jalan untuk mengambil hartanya. Firman Allah SWT dalam QS Al-Ma’idah ayat 33 :
hukuman bagi orang-orang yang memerangi Allah dan Rasull-Nya dan membuat kerusakan di bumi, hanyalah dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka secara silang, atau diasingkan dari tempat kediamannya. Yang demikian itu kehinaan bagi mereka di dunia, dan di akhirat mereka mendapat azab yang besar”. (QS Al-Ma’idah : 33)
C.    PELAKU HIRABAH
Hirabah dapat dilakukan oleh sekelompok orang atau perorangan yang mampu melakukannya. Imam abu Hanifah dan Ahmad mensyaratkan pelaku membawa senjata atau barang yang sejenis dengannya, seperti tongkat, batu, dan balok kayu.
Muharib adalah setiap pelaku langsung atau pelaku tidak langsung tindak pidana haribah. Barangsiapa mengambil harta, membunuh, atau menakut-menakuti orang, ia adalah muharib. Barangsiapa membantu tindak pidana hirabah, baik dengan member dorongan, membuat kesepakatan atau membantu, ia adalah muharib. Jika seseorang  hadir di tempat kejadian itu alalu diserahi tugas menjaga atau melindungi, ia di anggap muharib walaupun ia tidak melakukan tindak pidana hirabah secara langsung. Seseorang dianggap membantu tindak pidana hirabah jika ia mengawasi dan memberi dukungan, yaitu member tempat perlindungan kepada para muharib ketika mereka melarikan diri atau mengulurkan bantuan  ketika para muharib memerlukannya. Menurut imam Maliki, Abu Hanifah, Ahmad bin Hanbal dan ulama zahiriyah semuanya adalah Muharib. Berbeda halnya dengan imam asy-Syafi’I yang tidak mencap muharib kecuali orang yang melakukan tindak pidana  haribah secara langsung.
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, Imam Malik, Abu Hanifah, Ahmad bin Hanbal, dan ulama zahiriyahmenyatakan bahwa jika sekelompok orang membegal lalu sebagian dari mereka mengambil harta, sebagian lagi membunuh beberapa orang dan sisanya tidak berbuat apa-apa, semuanya harus bertanggungjawab atas pengambilan harta dan pembunuhan, sedangkan imam asyk-syafi’I sebaliknya dengan artian hanya dikenakan takzir bagi yang tidak membunuh dan mengambil harta pada saat tindak pidana itu terjadi.
Menurut Abu hanifah Muharib disyaratkan Mukalaf, dan terikat dengan hukum islam. Sedangkan anak belum dewasa atau orang gila tidak dikenakan hukuman ataupun denda.
D.    Tempat Pemotongan
Agar pelaku hirabah dijatuhi hukuman hudud, imam Abu Hanifah mensyaratkan hirabah terjadi dinegara islam. Jika hirabah terjadi dinegara non-islam, hukuman hudud tidak di wajibkan karena yang melaksanakan hukuman hudud yaitu penguasa.
Imam abu Hanifah mensyaratkan hirabah tidak terjadi di dalam kota atau jauh dari pemukiman. Jika terjadi di kota, tidak ada hukuman hudud atas pelaku, baik hirabah terjadi di waktu siang maupun di waktu malam hari, baik bersenjata maupun tidak.
E.     Korban hirabah (Perampokan atau Gangguan keamanan)
Korban hirabah disyaratkan orang yang maksum (mendapat jaminan keamanan). Seseorang di anggap maksum jika ia seorang muslim atau seorang kafir zimi. Jika ia korban seorang kafir harbi atau pemberontak, tidak ada ismah (jaminan keamanan) baginya. Jikaia seorang kafir harbi mendapat jaminan keamanan (musta’man), berarti ia maksum. Meskipun demikian para ulama berbeda pendapat tentang hukuman hudud dalam masalah tindak pidana hirabah yang terjadi atas kafir musta’man. Perbedaan pendapat ini telah dijelaskan dalam pembahasaan tentang tindak pidana pencurian.
            Korban hirabah berhak membunuh muharib dan membela jiwa dan hartanya.korban hirabah disunahkan untuk memberikan nasihat kepada muharibagar membatalkan tindak pidananya. Jika sudah tidak ada kesempatan, korban harus segera melakukan tindakan untuk membela diri semampunya yaitu tindakan yang menurutnya bisa membuat terhindar dari tindak pidana. Jika si korban bisa membela diri dengan perkataan dan tekanan, ia tidak perlu memukulnya. Jika ia bisa membela diri dengan memukulnya, ia tidak boleh membunuhnya. Jika ia tdak mungkin membela diri kecuali dengan membunuh atau khawatir dibunuh lebih dahulu, atau pelaku tidak memberikan kesempatan membela, korban berhak memukul pelaku dengan sesuatu yang mematikan.
F.      Bukti-bukti tindak pidana hirabah
Tindak pidana hirabah bisa di buktikan berdsarkan saksi dan pengakuan pelaku. Saksi tindak pidana ini cukup dua orang. Kedua saksi boleh bersal dari rombongan yang menyerang muharib atau dari rombongan korban hirabah, tetapi mereka boleh bersaksi bagi orang lain, tidak bagi diri sendiri.
G.    Hukuman atas tindak pidana
Menurut Imam Abu Hanifah, asy-syafi’I, Ahmad Bin Hanbal, dan Ulama syi’ah Zaidiyah, hukuman atas tindak pidana hirabah berbeda-beda, tergantung pada perbuatan yang dilakukan. Sebuah tindak pidana dianggap hirabah jika tidak keluar dari empat bentuk:
·         Menakut-nakuti orang dijalan di jalan tanpa mengambil harta atau membunuh orang.
·         Hanya mengambil harta, tidak yang lain.
·         Membunuh saja.
·         Mengambil harta dan membunuh.
Menurut fuqoha masing-masing perbuatan ini mempunyai hukuman khusus. Imam Malik berpendapat bahwa imam (penguasa/kepala Negara) berhak memilih hukuman atas muharib dari hukuman yang ada di dalam nash (aturan) selama si muharib tidak membunuh, jika si muharib membunuh maka ia di jatuhi hukuman mati atau di salib.

Referensi :
1.      Ibnul Hammam, Syarh Fathul Qadir, jld.IV, hlm. 628
2.      Lihat Alauddinal-kasani, Bada’I as-sana’I fi fi tarlbisy Syara’I, jld. VII, hlm. 90; Muhammad Abdullah bin Quaddamah, Al-Mugniy ‘ala Mukhtasar Al-kharaqiy (penerbit al-manar), cet. I, jld. X, hlm. 302; syarh Az-zarqani ‘ala Mukhtasar Khall (penerbit Muhammad Afandi Musthafa), cet. I, jld. VIII, hlm. 108; Abu Yahya Zakariya al-Anshari, Asnal Matalib Syarh Raudit Talib (penerbit Al-Maymaniyyah), cet. I, jld. IV, hlm. 154; Muhammad Abdullah bin Quddamah, Al-Mugniy ‘ala Mukhtasar al-kharaqiy (penerbit al-Manar), cet. I, jld. XI, hlm. 306.
3.      Ibnu hazm, al-Muhalla, jld. XI, hlm. 315.
Abu Yahya Zakariya al-anshari, Asnal Matalib Syarh Raudit Talib(penerbit Al-Maymaniyyah), cet. I, jld

Jumat, 05 Juli 2013

Ramadhan 2013



Uni Emirat Arab Mengumumkan Ramadhan 10 Juli 2013
Departemen Kebudayaan dan Penerangan, Uni Emirat Arab, melaluiPlanetarium Syarjah mengumumkan bahwa hari pertama bulan puasa,Ramadhan 1434 Hijriyah bertepatan dengan tanggal 10 Juli 2013. Mereka menyatakan bahwa bulan baru astronomis lahir pada tanggal 8 Juli jam 11:14 waktu setempat. Pada hari itu bulan tenggelam pukul 19:18, lima menit sebelum matahari tenggelam. Keesokan harinya, bulan sabit untuk Ramadhan baru bisa dilihat pada petang hari. Oleh karena itu, 1 Ramadhan bertepatan dengan 10 Juli 2013.
Pengumuman itu juga menyebutkan bahwa Idul Fithri, 1 Syawal 1434 H akan bertepatan dengan 9 Agustus 2013.
Tanggal-tanggal yang ditetapkan tersebut lebih lambat satu hari daripada tanggal pada kalender Ummul Qura, Arab Saudi. Dan sepertinya, Planetarium mendasarkan pengumuman tersebut pada kemungkinan terlihatnya bulan sabit (imkanur-rukyat, visibilitas bulan sabit) untuk wilayah UEA.

Sabtu, 22 Juni 2013

Psikologi Hukum

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Dewasa ini keberadaan hukum sangat dirasakan urgennya di dalam masyarakat, sebab hukum tidak hanya berperan untuk keadilan, keteraturan, ketenteraman dan ketertiban; juga untuk menjamin adanya kepastian hukum. Bahkan hukum lebih diarahkan sebagai sarana kemajuan dan kesejahteraan masyarakat "tool of social engineering". Oleh sebab itu diperlukan hukum yang dibentuk atas keinginan dan kesadaran tiap-tiap individu di dalam masyarakat, dengan maksud agar tujuan hukum dapat terwujud sebagaimana dicita-citakan. Yakni: hukum menghendaki kerukunan dan perdamaian dalam pergaulan hidup bersama.
Adapun psikologi hukum adalah cabang ilmu yang mempelajari hukum dari segi ekspresi dan perkembangan jiwa manusia. Menurut Soedjono D., akan melihat hukum sebagai salah satu dari pencerminan perilaku manusia suatu kenyataan bahwa salah satu yang menon­jol pada hukum, terutama pada hukum modern, adalah penggunaan secara sadar sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan yang dike­hendaki. Adapun yang
meninjau ilmu politik secara mendalam dalam kaitannya dengan hukum adalah ilmu pengetahuan politik hukum.

Tujuan
1.      Tujuan teoritis yaitu tujuan untuk mengetahui pengertian psikologi hokum, dan untuk mencari informasi yang lebih jauh lagi tentang sejauh mana psikologi dapat digunakan atau bermanfaat dalam ranah hokum Indonesia ataupun luar negeri
2.      Tujuan praktis yaitu sebagai tugas pengganti dari presentasi yang berguna mendapatkan nilai tambahan psikologi social 2



BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Singkat Psikologi Hukum
Perkembangan ilmu pengetahuan modern sejak renaisans, tidak hanya disambut baik oleh rasionalisme melainkan juga pengetahuan yang harus bersumber dari pengalaman (empeiria). Dengan pendirian dasar itu, pandangan mereka disebut empirisme. Seperti halnya rasionalisme, empirisme berusaha membebaskan diri dari bentuk spekulasi spiritual yang menandai metafisika tradisional. Lama kelamaan aliran empirisme mempelopori kelahiran ilmu-ilmu kemanusiaan modern yang didasarkan pada observasi empiris yaitu psikologi.

Ilmu jiwa yang melahirkan psikologi, berabad-abad yang lalu sebenarnya manusia telah memikirkan tentang hakikat dari jiwa manusia dan jiwa makhluk hidup lainnya. Pikiran itu semula bersifat filsafat dalam arti terutama mencari pengetahuan mengenai dasar-dasar dan hakikat jiwa manusia. Corak pemikiran filsafat waktu itu atomistis, artinya jiwa manusia masih dianggap sebagai sesuatu yang konstan dan tidak berubah, dapat dianalisa ke dalam unsur-unsur tersendiri yang bekerja terpisah antara unsur-unsur itu.

Pandangan atomistis terlihat dari hasil pemikiran sejak filsuf Plato kurang lebih 400 tahun sebelum Masehi sampai pertengahan abad XIX. Mereka memandang ilmu jiwa merupakan cabang dari ilmu filsafat. sejak lahirnya experimental psycology pada abad XIX  yang bukan saja berfilsafat mengenai gejala-gejala kejiwaan melainkan juga mencantumkan secara umum dengan menggunakan metode ilmiah yang substantif mungkin, maka lambat laun  lahirlah psikologi isu.
Psikolog experimental pada tahun 1875, Wilhelm Wunt terdorong oleh keyakinan bahwa gejala-gejala kejiwaan itu mempunyai sifat dan dalil-dalil  yang khas dan yang harus diteliti oleh sarjana illmu jiwa secara khas. Wilhelm Wunt yang menitikberatkan pergolakan jiwa manusia pada alam sadar, dikembangkan oleh Sigmund Freud bahwa kegiatan dan tingkah laku manusia sangat dipengaruhi oleh pergolakan tak sadar bawah sadar tersebut.
Sumbangan yang terbesar Sigmund Freud dalam psikologi  hukum yaitu melalui pidatonya di depan hakim Austria tentang ”keputusan hakim yang dipengaruhi oleh proses-proses tak sadar”. ”Even lain yang membuat para psikolog sadar bahwa ide mereka dapat digunakan untuk mentransformasikan sistem hukum adalah terbitnya buku yang berjudul on the witnes stand oleh Hugo Munstenberg (1907)”  (Constanzo, 2006:4), demikian juga dengan munculnya beberapa penelitian psikologi dalam lapangan ilmu hukum seperti diskriminasi hukum, hukuman berat, pornografi, perilaku seks, dan syarat penahanan seorang untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya menanandai kelahiran psikologi dan hukum.
Sejarah singkat psikologi dan hukum juga dapat diamati berdasarkan tulisan Hakim Agung Sail Warren sebagaimana dikemukakan  oleh Mark Constanzo (2006: 9) “kebijakan pemisahan ras biasanya diinterpretasikan sebagai pertanda menganggap kelompok Negro sebagai kelompok inferior. Perasaan inferioritas ini mempengaruhi motivasi belajar anak, oleh sebab itu segregasi yang disertai dengan sanksi hukum, memiliki tendensi untuk memperlambat perkembangan dan pendidikan mental anak Negro dan membuat mereka tidak dapat memperoleh keuntungan yang mestinya dapat mereka peroleh di dalam sistem persekolahan yang secara rasial terintegrasi”.
Hal tersebut,  Mark Constanzo (2006:15) menyimpulkan ”bahwa pemisahan anak kulit hitam semata-mata karena rasnya melahirkan perasaan inferioritas terhadap statusnya di masyarakat, yang dapat mempengaruhi jiwa dan pemikiran mereka sedemikian rupa sehingga tidak akan pernah mungkin dipulihkan”.

B. Pengertian Psikologi
Psikologi apabila ditinjau dari segi ilmu bahasa berasal dari kata psycho, dan logos. Psychosering diartikan jiwa dan logos yang berarti ilmu (ilmu pengetahuan). Dengan demikian, psikologi sering diartikan dengan ilmu pengetahuan tentang jiwa (ilmu jiwa).

Hukum dibentuk oleh jiwa manusia, baik putusan pengadilan maupun perundang-undangan merupakan hasil jiwa manusia. Oleh karena itu, psikologi merupakan karakteristik hukum yang tidak dapat dipisahkan dari hukum itu sendiri. Dalam hal ini Purnadi Purbacaraka, Soerjono Soekanto memberikan definisi psikologi hukum, yaitu suatu cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari hukum sebagai perwujudan dari pada perkembangan jiwa manusia. (Ishaq,2009,241)

Pengenalan psikologi pertama kali sebagai ilmu pengetahuan yang otonom dan berdiri sendiri terjadi pada akhir abad ke- 19, yang pada waktu itu masih menjadi cabang ilmu pengetahuan filsafat dan psikologi juga sering menjadi sudut kajian sosiologi. Dalam perjalanan sejarah  yang singkat psikologi telah didefenisikan dalam berbagai cara, para ahli psikologi terdahulu mendefenisikan psikologi sebagai “studi kegiatan mental”.
Kata psikologi sering disebut ilmu jiwa, berasal dari bahasa Yunani psyche artinya jiwa dan logos berarti ilmu. Dengan demikan psikologi dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari kejiwaan atau ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia, atau sebab tingkah laku manusia  yang dilatarbelakangi oleh kondisi jiwa seseorang atau secara singkat dapat diartikan sebagai studi mengenai proses perilaku dan proses mental.
Menurut Rita Atkinson (1983: 19) Pendefenisian psikologi juga dilatarbelakangi oleh perkembangan sejarah dalam aliran psikologi, hal ini dapat dilihat melalui perubahan defenisi mengenai psikologi seperti berikut ini:
1.      Wilhelm Wunt (1892), psikologi bertugas menyelidiki apa yang kita sebut  pengalaman dalam sensasi dan perasaan kita sendiri, pikiran serta kehendak kita yang bertolak belakang dengan setiap obyek pengalaman luar yang melahirkan pokok permasalahan ilmu alam.
2.      William James (1980), psikologi adalah ilmu mengenai kehidupan mental, termasuk fenomena dan kondisi-kondisinya. Fenomena adalah apa yang kita sebut sebagai perasaan, keinginan, kognisi, berpikir logis, keputusan-keputusan dan sebagainya.
3.      James Angell (1910), psikologi adalah semua kesadaran di mana saja, normal atau abnormal, manusia atau binatang yang dicoba untuk dijelaskan pokok permasalahannya.
4.      John B Watson (1919), psikologi merupakan bagian dari ilmu alam yang menekankan perilaku manusia, perbuatan dan ucapannya baik yang dipelajari maupun yang tidak sebagai pokok masalah.
5.      Kurt Koffka (1925), psikologi adalah studi ilmiah mengenai perilaku makhluk hidup dalam hubungan mereka  dengan dunia luar.
6.      Arthur Gates (1931), psikologi adalah salah satu bidang yang mencoba menunjukan, menerangkan, dan menggolongkan berbagai macam kegiatan yang sanggup dilakukan oleh binatang, manusia, atau lainnya.
7.      Norman Munn (1951), psikologi sebagai “ilmu mengenai perilaku” tetapi hal yang menarik, pengertian perilaku yang telah mengalami perkembangan, sehingga sekarang ikut menangani hal yang pada masa lampau disebut pengalaman.
8.      Kennet Clark dan George Milter (1970), psikologi adalah studi ilmiah mengenai perilaku, lingkupnya mencakup berbagai proses perilaku yang dapat diamati, seperti gerak tangan, cara berbicara, dan perubahan kejiwaan dan proses yang hanya dapat diartikan sebagai pikiran dan mimpi.
9.      Richard Mayer (1981), psikologi merupakan analisis ilmiah mengenai proses mental  dan struktur daya ingat untuk memahami perilaku manusia.
Berdasarkan defenisi di atas, mempelajari psikologi berarti mengenal manusia dalam arti memahami, menguraikan dan memaparkan manusia sebagai individu dan sosial serta berbagai macam tingkah laku dan kepribadian manusia, juga seluruh aspek-aspeknya.Psyche (jiwa) adalah kekuatan hidup atau sebabnya hidup (anima).
Dari pengertian-pengertian psikologi yang telah disebutkan di atas, penulis berpendapat antara psikologi dan hukum dari sudut kajiannya  adalah  keduanya mengkaji gejala-gejala sosial, hal ini jika menilik kembali pengertian hukum secara empirik. Keduanya memfokuskan diri pada perilaku manusia, yang berusaha menyelesaikan masalah serta memperbaiki kondisi manusia. Craig Haney menyatakan  “bahwa psikologi bersifat deskriptif dan hukum bersifat perskriptif” (Haney: 1981 dalam Kapardis: 1999). Artinya psikologi menjelaskan tentang bagaimana orang berperilaku secara aktual, hukum menjelaskan bagaimana orang seharusnya berperilaku, tujuan utama ilmu psikologi adalah memberikan penjelasan yang lengkap dan akurat mengenai perilaku manusia, tujuan utama hukum adalah mengatur perilaku manusia. Dalam arti yang agak lebih idealistis, ilmu psikologi  menurut Constanzo (2006: 12) “terutama tertarik untuk menemukan kebenaran sedangkan sistem hukum terutama tertarik untuk memberikan keadilan”.
Berdasarkan keterkaitan kedua terminologi tersebut maka psikologi hukum dapat diartikan sebagai studi psikologi yang mempelajari ketidakmampuan  individu untuk melakukan penyesuaian terhadap norma hukum yang berlaku atau tidak berhasilnya mengatasi tekanan-tekanan yang dideritamya. Dalam kondisi yang demikianlah maka diperlukan studi psikologi terhadap hukum yang disebut psikologi hukum. Menurut  Soerjono Soekanto (1983:2) “psikologi hukum adalah studi hukum yang akan berusaha menyoroti hukum sebagai suatu perwujudan dari gejala-gejala kejiwaan tertentu, dan juga landasan  kejiwaan dari perilaku atau sikap tindak tersebut”.
Di bawah ini dikutip beberapa defenisi psikologi hukum yang terdapat dalam berbagai literatur, yaitu:
1.      Sebagai suatu pencerminan dari perilaku manusia (human behaviour). (Sorjono Soekanto,1989; R. Ridwan Syahrai,1999;  Bernard Arief  Sidharta, 2000; Soedjono Dirdjosuwiryo,2001; Sudarsono, 2001; Soeroso, 2004; Munir Fuady, 2006).
2. Sebagai bentuk pelayanan psikologi yang dilakukan dalam hukum meliputiPsycho-Legal Issue, pendampingan di pengadilan dan prilaku kriminal (The Commite On Etnical Guidelines For Forensic Psychology dalam Rahayu: 2003, hal. 3)
3.      Meliputi legal issue; penelitian dalam kesaksian, penelitian dari pengambilan keputusan yuri dan hakim, begitu pula di dalam kriminologi untuk menentukan sebab-sebab, langkah-langkah preventif, kurasif, perilaku kriminal dan pendampingan di pengadilan yang dilakukan oleh para ahli di dalam pengadilan (Blackburn: 1996)
4.      Meliputi aspek perilaku manusia dalam proses hukum, seperti ingatan saksi, pengambilan keputusan hukum oleh yuri, dan pelaku kriminal (Curt  R. Bartol:1983)
5.      Suatu pendekatan yang menekankan determinan-determinan manusia dari hukum, termasuk dari perundang-undangan dan putusan hakim, yang lebih menekankan individu sebagai unit analisisnya. Perhatian utama dari kajian psikologi hukum yaitu lebih tertuju pada proses penegakan hukum (saksi mata, tersangka/terdakwa, korban kriminal, jaksa penuntut umum, pengacara hakim dan terpidana) (Rahayu: 2003)
6.      Psikologi hukum adalah suatu kajian tentang sifat, fungsi, dan perilaku hukum dari pengalaman mental dari individu dalam hubungannya dengan berbagai fenomena hukum (pengertian ini didasarkan pada defenisi psikologi sosial oleh Edward E. Jones: 1996)
7.      Cabang metode studi hukum yang masih muda, yang lahir karena kebutuhan dan tuntutan akan kehadiran psikologi dalam studi hukum, terutama sekali bagi praktik penegakan hukum, termasuk untuk kepentingan pemeriksaan  di muka sidang pengadilan. (Ishaq: 2008, 241).
8.      Cabang ilmu hukum (pengembanan hukum teoritis/sistem hukum eksternal; sudut pandang hukum sebagai pengamat) yang bertujuan untuk memahami hukum dari sudut pandang psikologi dengan menggunakan pendekatan/sudut pandang psikoanalisis, psikologi humanistik dan psikologi perilaku (empirik). (Meuwissen dalam Sidharta: 2008)
9.      psychology and law is a relatively young field of scholarhip. Connceptualized broadly, the field encompases diverse approaches to psychology. Each of major psychologycal subdivisions has contributed to research on legal isues: cognitive (e.g. eyewitnes testimony), developmental (e.g., children testimony), social (e.g., jury behavior), clinical (e.g, assesment of competence), biological (e.g, the polygraph), and industrial organizational psychology (e.g,  sexual harassment in the workplace). (Encyclopedia of Psychology & Law: 2008)
10.   legal psychology involves empirical, psychology research of the law, legal institution, and people who come into contant with the law. Legal psychologist typically take basic social and cogniive theories and principles and apply them to issues in the legal system such as eyewitness memory, jury decision-making, investigations, and interviewing. The term ” legal psychology” has only recently come into usage, primarily as a way to differentiate the exprimental focos of legal psycholgy from the clinically-oriented forensic psychology. (Wikipedia, The Free Encyclopedia)

Leon Petraryki (1867 - 1931), seorang ahli filsafat hukum, menggarap unsur psikologis dalam hukum dengan mendudukkannya sebagai unsur yang utama. Sarjana tersebut berpendapat, bahwa fenomen-fenomen hukum itu terdiri dari proses-proses psikis yang unik, yang dapat dilihat dengan mcngggunakan metoda introspeksi (Satjipto , 2006: 360). Apabila kita mempersoalkan tentang hak-hak kita scrta hak-hak orang lain dan melakukan perbuatan sesuai dengan itu, maka itu semua bukan karena hak-hak itu dicantumkan dalam peraturan-peraturan, melainkan semata-mata karena keyakinan kita sendiri, bahwa kita harus berbuat seperti itu, demikian Petraricky. Ia memandang hak-hak dan kewajiban-kewajiban sebagai “phantasmata”, yang hanya ada dalam pikiran kita, tetapi yang mempunyai arti sosial penting, oleh karena ia menciptakan “pengalaman imperatif-atributit” yang mempengaruhi tingkah laku mereka yang merasa terikat olehnya (Sutjipto, 2006 : 360).
Penulis berikutnya yang akan dibicarakan adalah Jerome Frank. Melalui bukunya “Law and the Modern Mind” (1930), Frank kemudian menjadi terkenal, bahwa ada yang menamakannya suatu karya klasik dalam ilmu hukum umum.
Frank, biasanya digolongkan ke dalam Aliran Realismv di Amerika Serikat. Sesuai dcngan pola pemikiran aliran tersebut, hal yang menjadi sasaran adalah hukum scbagaimana diproses dalam pengadilan. Tetapi penggarapan Frank tcrnyata tidak hanya terbatas pada proses-proses dalam pengadilan, melainkan ia mengangkatnya sampai ke peringkat yang lebih tinggi lagi, sehingga sudah bergerak dalam teori hukum yang umum.
Frank menyerang angrapan dan pandangan kebanyakan orang tentang hukum dan dalam bukunya yang disebut di muka> ia mulai dengan mengupas apa yang disebutnya sebagai suatu “mitos dasar” dalam hukum (Sutjipto, 2006 : 361). Frank yang sendirinya adalah seorang hakim, melihat, bahwa hukum itu tidak akan pernah bisa memuaskan keinginan kita untuk memberikan kepastian. Sejak dulu, sekarang dan di waktu-waktu yang akan datang, bagian terbesar dan hukum bersifat samar-samar dan bervariasi. Menurut dia, keadaan yang demikian itu tidak bisa lain, oleh karena hukum itu berurusan dcngan hubungan-hubung an antara manusia dalam segi-seginya yang sangat kompleks. Olch karena itu mengharapkan, bahwa hukum akan bisa memberikan kepastian yang berlebihan, adalah suatu perbuatan yang keliru dan tidak perlu.
Tetapi, yang justru merisaukan Frank adalah persoalan, mengapa orang sampai menghendaki dan mengharapkan kepastian hukum yang berlebihan itu. Menurut Frank, hal itu tentunya tidak berakar pada sesuatu yang nyata, melainkan menginginkan sesuatu yang tidak nyata (unreal)(Soetjipto, 2006 : 361).
Dalam usahanya untuk menjawab dan menjelaskan apa yang menjadi sebab-sebab keinginan sebagaimana disebut di atas, Frank mulai memasuki bidang psikologi. Dalam hal ini ia menarik pelajaran dari karya-karya tentang psikologi anak-anak dari Freud dan Piaget, khususnya yang menyangkut soal ketergantungan kepada sang ayah dari seorang anak dan hasil dari ketergantungan yang demikian itu, pada saat anak tersebut menjadi dewasa, berupa kegandrungann (hanker) kepada pengganti sang ayah (Soetjipto, 2006: 361). Penjelasannya secara terperinci adalah sebagai berikut (Soetjipto, 2006: 361) :
1.      Dorongan keinginan seperti pada bayi untuk mendapatkan keadaan damai seperti sebelum dilahirkan. Sebaliknya adalah, ketakutan kepada hal-hal yang tidak diketahui, kepada kesenipatan dan perubahan, sebagai faktor-faktor yang penting dalam kehidupan seorang anak.
2.      Faktor-faktor ini mewujudkan dirinya sendiri ke dalam cita rasa kekanak-kanakan yang mendambakan kedamaian sempurna, kesenangan, perlindungan terhadap bahaya-bahaya yang tidak diketahui. Si anak secara tidak realistis akan merindukan dunia yang teguh dan penuh kepastian dan bisa dikontrol.
3.      Si anak mendapatkan kepuasan akan kerinduannya ilu, pada umumnya, melalui kepercayaannya dan penyandaran dirinya kepada sang ayah yang tidak ada bandingannya, yang serba bisa dan yang selalu berhasil.
4.      Sekalipun orang menjadi semakin dewasa, kebanyakan orang pada waktu-waktu tertentu menjadi korban dari keinginan-kcinginan kekanak-kanakan tersebut di atas. Baik dalam situasi aman, apalagi dalam bahaya, dalam keadaan yang penuh ancaman, seorang ingin melarikan diri kepada ayahnya. “Kebergantungan kepada ayah” yang semula merupakan sarana untuk melakukan adaptasi, pada akhirnya berubah menjadi tujuan sendiri.
5.      Hukum bisa dengan mudah dibuat sebagai sesuatu yang memainkan peranan penting dalam usaha untuk mendapatkan kembali sang ayah. Sebab, secara fungsional, tampaknya hukum mirip dengan sang ayah sebagai Hakim.
6.      Ayah sebagai Hakim dari si anak tidak pernah gagal. Keputusan-keputusan dan perintah-perintahnya dianggap menciptakan ketertiban .dari keadaan yang kacau serta konflik-konflik pandangan mengenai tingkah laku yang baik. Hukum baginya tampak sebagai mutlak pasti dan dapat diramalkan. Orang yang menjadi dewasa, pada saat mereka ingin menangkap kembali suasana kepuasan dunia anak-anak, tanpa menyadari sepenuhnya akan motivasi di belakangnya, mencari kewibawaan (authoritativeness), kapasilas dan prediktabilitas dalam sistem-sistem hukum. Anak ini percaya, bahwa sang ayah telah meletakkan itu semga di dalam hukum.
7.      Dari sinilah munculnya mitos hukum, bahwa hukum itu adalah, atau bisa-dibuat tidak bergetar, pasti dan mapan. ­
C. Ruang lingkup psikologi hukum
Orientasi lapangan psikologi tersebut diatas, sebagai ilmu sosial, tentunya akan melakukan  pengujian (hipotesa) dalam lapangan ilmu hukum khususnya dalam penegakan hukum (law enforcement). Melalui sintesa dari riset psikologi juga akan melahirkan ruang lingkup psikologi hukum.
Psikologi hukum sebagai cabang ilmu yang baru yang melihat kaitan antara jiwa manusia disatu pihak dengan hukum di lain pihak terbagi dalam beberapa ruang lingkup antara lain:
Menurut  Soedjono, ruang lingkup psikologi hukum (1983:40) sebagai berikut:
1.      Segi psikologi tentang terbentuknya norma atau kaidah hukum.
2.      Kepatuhan atau ketaatan terhadap kaedah hukum.
3.      Perilaku menyimpang.
4.      Psikologi dalam hukum pidana dan pengawasan perilaku.
Demikianpun Soerjono Soekanto (1979: 11) membagi  ruang lingkup psikologi hukum yaitu:
Dasar-dasar kejiwaan dan fungsi pelanggaran terhadap kaidah hukum.
1.      Dasar-dasar kejiwaan dan fungsi pola-pola peyelesaian pelanggaran kaidah hukum.
2.      Akibat-akibat dari pola penyelesaian sengketa tertentu.
Pada negara yang memiliki sistem hukum common law seperti Amerika, juga membagi penerapan psikologi dalam hukum. Kelimpahan penerapan psikologi dalam hukum (Blackburn 1996, 6; Curt R. Bartol 1983, 20 -21; David S. Clark, 2007; Stephenson, 2007; ) dibedakan dari sudut pandang apa yang diistilahkan:
1.      Psikologi dalam hukum (psychology in law), mengacu kepenerapan-penerapan spesifik dari psikologi di dalam hukum seperti  tugas psikolog menjadi saksi ahli, kehandalan kesaksian saksi mata, kondisi mental terdakwa, dan memberikan rekomendasi hak penentuan perwalian anak, dan menentukan realibitas kesaksian saksi mata.
2.      Psikologi dan hukum (psychology and law), meliputi psyco-legal research yaitu penelitian individu yang terlibat di dalam hukum, seperti kajian terhadap perilaku pengacara, yuri, dan hakim.
3.      Psikologi  hukum (psychology of law), mengacu pada riset psikologi mengapa orang-orang mematuhi atau tidak mematuhi Undang-undang tertentu, perkembangan moral, dan persepsi dan sikap publik terhadap berbagai sanksi pidana, seperti apakah hukuman mati dapat mempengaruhi penurunan kejahatan.
4.      Psikologi forensik (forensic psychology), suatu cabang psikologi untuk penyiapan informasi bagi pengadilan (psikologi di dalam pengadilan).
5.      criminal psychology (psikologi hukum pidana), sumbangan psikologi hukum yang menggambarkan dinamika interpersonal dan kelompok dari pembuatan putusan pada suatu tahapan kunci di dalam proses mendakwa seseorang mulai dari waktu penetapannya sebagai tersangka hingga pada momen penjatuhan pidana
6.      Neuroscience and law, suatu kajian baru tentang keunikan pentingnya pengaruh otak dan syaraf bagi perilaku manusia, masyarakat , dan hukum. Kajiannya meliputi wawasan baru tentang isu-isu pertanggungjawaban, meningkatkan kemampuan untuk membaca pikiran, prediksi yang lebih baik terhadap perilaku yang akan datang, dan prospek terhadap peningkatan kemampuan otak manusia.
Selanjutnya Constanzo (1994:3); encyclopedia of psychology & law, volume 1 (2008: xiii) melakukan pendekatan psikologi terhadap hukum melalui bidang ilmu psikologi. Beberapa contohnya adalah:
1.      Psikologi perkembangan, menyusul terjadinya perceraian, pengaturan hak asuh anak seperti apa yang akan  mendukung perkembangan kesehatan anak? dapatkah seorang anak yang melakukan tindakan pembunuhan benar-benar memahami sifat dan kondisi tindakannya?.
2.      Psikologi sosial, bagaimana polisi yang melaksanakan interogasi menggunakan prinsip-prinsip koersi dan persuasi untuk membuat tersangka mengakui tindak kejahatannya? Apakah dinamika kelompok di dalam tim juri mempengaruhi keputusan yang mereka ambil?
3.      Psikologi klinis, bagaimana cara memutuskan bahwa seseorang yang menderita gangguan jiwa cukup kompeten untuk menghadapi proses persidangan? Mungkinkah memperediksi bahwa seseorang yang menderita gangguan jiwa kelak akan menjadi orang yang berbahaya?
4.      Psikologi kognitif, seberapa akuratkah kesaksian para saksi mata? dalam kondisi seperti apa saksi mata mampu mengingat kembali apa yang pernah mereka lihat? Apakah para juri memahami instruksi tim juri dengan cara yang sama seperti yang diinginkan oleh para pengacara dan hakim?
Ruang lingkup psikologi hukum sebagaimana yang tertera di atas merupakan suatu tanda dari suatu perkembangan di lapangan studi psikologi. Dalam hubungan dengan perkembangan di bidang psikologi, psikologi hukum tergolong psikologi khusus, yaitu psikologi yang menyelidiki dan mempelajari  segi-segi kekhususan dari aktifitas  psikis manusia.
Berdasarkan hal tersebut   menurut Ishaq (2008:241) dalam psikologi hukum akan dipelajari  sikap tindak/ perikelakuan yang terdiri atas:
1.      Sikap tindak perikelakuan hukum yang normal, yang menyebabkan seorang akan mematuhi hukum.
2.      Sikap tindak/perikelakuan yang abnormal, yang menyebabkan seorang melanggar hukum, meskipun dalam keadaan tertentu dapat dikesampingkan.
Masalah normal dan abnormal merupakan suatu gerak antara dua kutub yang ekstrim. Kedua kutub yang ekstrim tersebut adalah keadaan normal dan keadaan abnormal. Penyimpangan terhadap kedaan normal dalam keadaan tertentu masih dapat diterima, tetapi hal itu sudah menuju pada penyelewengan, maka kecenderungan kaedah abnormalitas semakin kuat, secara skematis perosesnya adalah sebagai berikut:
Pada titik normal, seseorang  mematuhi kaidah hukum dan  dalam keadaan tertentu dapat disimpangi. Psikologi hukum di satu pihak, yaitu menelaah faktor-faktor psikologis yang mendorong orang untuk mematuhi kaidah hukum, dilain pihak juga meneliti faktor-faktor yang mungkin mendorong orang untuk melanggar kaedah hukum  (Soerjono Soekanto 1989:17-18).

D. Perkembangan kejiwaan
Perkembangan kejiwaan dalam kehidupan manusia menurut Saut P. Panjaitan paling sedikit dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti berikut.
1.    Proses pematangan, yang meliputi penyempurnaan fungsi tubuh.
2.   Proses belajar, yang berhubungan dengan proses memperbaiki sikap-tindak/ perikelakuan, baik melalui imitasi maupun edukasi.
3.    Proses pengalaman, yang berkaitan dengan interaksi terhadap lingkungan kemasyarakatan di manapun seseorang berada.
Ketiga faktor di atas dapatlah dipahami sementara bahwa setiap manusia akan mempunyai kepribadian (perkembangan kejiwaan) yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, psikologi penting bagi ilmu hukum untuk mengetahui latar belakang kejiwaan dari suatu sikap tindak/perikelakuan hukum tertentu. Jiwa merupakan suatu organ yang membentuk gagasan dan pelaksanaannya mempengaruhi nalar, maka hukum seharusnya menarik bagi jiwa manusia yang dipengaruhi oleh hukum.
Berdasarkan hal tersebut, dalam psikologi hukum akan dipelajari sikap­ tindak/perikelakuan hukum dari seseorang yang terdiri atas: (1) sikap tindak/ perikelakuan hukum yang normal, yang menyebabkan seseorang akan mematuhi hukum, (2) sikap tindak/perikelakuan yang abnormal, yang menyebabkan seseorang melanggar hukum, meskipun dalam keadaan tertentu dapat dikesampingkan.
Sikap tindak/perikelakuan seseorang yang mematuhi hukum dilandasi oleh adanya keyakinan atau kesadaran akan kedamaian pergaulan hidup. Keyakinan atau kesadaran hukum ini menjadi landasan keajegan (regelmatigheden) maupun keputusan-keputusan (beslissingen), merupakan wadah dari jalinan nilai hukum yang mengendap dalam sanubari manusia. Inilah kesadaran hokum (rechtsbewustzijn) atau perasaan hukum.
Kesadaran hukum sebenarnya merupakan kesadaran akan nilai-nilai yang terdapat di dalam diri manusia tentang hukum yang ada atau yang diharapkan akan ada. Jalinan nilai-nilai dalam diri manusia tersebut merupakan abstraksi sosial yang kontinu, dan bersifat dinamis, dalam rangka memilih tujuan dalam kehidupan sosial, yang menjadi penggerak manusia ke arah pemenuhan hasrat hidupnya.
Sikap tindak/perikelakuan yang abnormal menyebabkan seseorang melanggar norma/kaedah hukum. Ada beberapa gejala psikologis yang berpengaruh terhadap perilaku menyimpang yang melanggar hukum, antara lain sebagai berikut.
1.    Neurosis, yaitu suatu gangguan jasmaniah yang disebabkan oleh faktor kejiwaan atau gangguan pada fungsi jaringan saraf. Contoh: phobia, rasa takut terhadap hal-hal yang dianggap mengancam, misalnya rasa takut pada tempat yang tinggi. Depresi, adanya rasa negatif terhadap diri sendiri (putus asa).
2. Psikhosis, merupakan suatu gejala seperti reaksi schizophrenic, yang menyangkut proses emosional dan intelektual. Gejalanya adalah seseorang sama sekali tidak mengacuhkan apa yang terjadi di sekitarnya. Reaksi paranoid, di mana seseorang selalu dibayangi oleh hal-hal yang (seolah-olah) mengancam dirinya. Oleh karena itu, dia akan “menyerang” terlebih dahulu. Reaksi efektif dan involutional, di mana seseorang merasakan adanya depresi yang sangat kuat.
3.   Gejala sosiopatik, yang mencakup:
a.    reaksi antisosial (psikhopat), yang ciri utamanya adalah orang tersebut hampir-hampir tidak mempunyai etika/moral. Misalnya tidak pernah merasa bersalah, tidak pernah bertanggung jawab, tidak mempunyai tujuan hidup dan sebagainya.
b.    reaksi dissosial, yakni orang selalu berurusan dengan.hukum, karena ada kekurangan dalam latar belakang kehidupannya.
c.    deviasi seksual, yaitu perikelakuan seksual yang menyimpang dilakukan oleh orang-orang yang menikmati perbuatan tersebut, yang bertentangan dengan norma-norma yang berlaku. Seperti homosek­sualitas, pelacuran, perkosaan, dan sebagainya.
d.    addiction (ketergantungan), misalnya ketergantungan pada “naza” (narkotika, alkohol, dan zat adiktif lainnya).(Ishaq,2009,241)

E. Proses perubahan dalam hukum
Setiap proses perubahan, selalu menyangkut bermacam-macam aspek, seperti misalnya, aspek politis, ekonomis, sosial, dan lain sebagainya. Yang mungkin agak kurang diperhatikan, adalah masalah psikologis yang dihadapi di dalam pem­bangunan, walaupun tidak jarang orang menyinggung soal mentalitas di dalam pembangunan. Masalah psikologis tersebut menyangkut soal bagaimana manusia mengubah dirinya di dalam proses pembangunan tersebut. Hal itu mungkin menyangkut orang-orang macam apa yang mempelopori perubahan, manusia bagaimanakah yang mudah berubah dan pihak manakah yang sulit untuk menyesuaikan diri dengan perubah­an yang terjadi. Di dalam proses pembangunan hukum, hal-hal itu juga perlu dipertimbangkan, oleh karena hukum adat secara tradisional telah menjiwai bagian terbesar dari warga-warga masyarakat Indonesia.
Salah seorang pelopor yang mempelajari aspek psikologis di dalam proses perubahan, adalah L.W. Doob, seorang guru besar dari Yale Univer­sity, Amerika Serikat. Menurut Doob, maka masalah utamanya menyang­kut dua hal, yakni:
1.      Mengapa warga masyarakat yang mengalami perubahan dalam hal-­hal tertentu bertambah modern (dalam pengertiannya, tambah ber­adab)
2.      Apakah yang terjadi dengan mereka yang tambah modern; artinya apakah yang berubah dalam cara berpikir, kepercayaan, kepribadian, dan selanjutnya?
Di dalam studinya, juga dipergunakan dikotomi tradisional dan modern, dan ada suatu usaha untuk mengadakan klasifikasi ciri-ciri masyarakat yang lebih sederhana. Ciri-ciri tersebut adalah, sempitnya ruang lingkup hubungan-hubungan sosial, adanya pelbagai pembatasan-pembatasan, kepercayaan dan kemutlakan, keseragaman perilaku, dan kesederhanaan. Penelitian Doob terutama dilakukan di Luo, Ganda, Zulu dan Jamaica, dengan jalan memperbandingkan kecende­rungan-kecenderungan yang ada pada generasi tua dan muda, serta antara mereka yang berpendidikan dengan yang taraf pendidikannya kurang tinggi. Kemudian dia juga membandingkan pola-pola kehidupan orang-orang Indian dan kulit putih di Amerika Serikat, serta mem­pergunakan konsep-konsep yang pernah dikembangkan oleh Daniel Lerner mengenai tahap tradisional, transisi, dan modern. Dari hasil-hasil penelitiannya, antara lain, dapat diambil kesimpulan, bahwa perubahan lebih banyak dialami oleh orang-orang yang mempunyai orientasi jauh kemuka. Kecuali itu, maka ada suatu kecenderungan, bahwa perubahan sangat sukar terjadi pada pola kehidupan keluarga.
Kemudian Doob pernah mengemukakan suatu teori, yang dinama­kannya the piecemealness of change. Intinya adalah bahwa apabila suatu pola perilaku yang tertanam dengan kuatnya dan sangat memuaskan ingin diubah, maka perubahan tersebut baru akan terjadi apabila beberapa unsur tertentu diganti. Oleh karena itu, teorinya disebut piece­meal. Halnya adalah sama, apabila suatu perilaku baru harus dipelajari, maka hal itu akan berlangsung bagian demi bagian, atau unsur demi unsur. Untuk kemudian dipelajari secara menyeluruh.
Teori maupun hasil-hasil penelitian Doob yang kemudian diberi komentar oleh Godthorpe, dapat dijadikan bahan pertimbangan di dalam pembangunan hukum, terutama di dalam hubungannya dengan hukum adat. Ada aspek-aspek tertentu, di mana pembangunan hukum mau tidak mau harus dilakukan melalui hukum adat; aspek-aspek manakah itu, perlu diteliti secara seksama. Memang, suatu pembangunan hukum memakan waktu yang relatif lama, oleh karena sekaligus juga memerlukan pelembagaan dan pembudayaan secara sistematis. (Soerjono, 2007: 366)




BAB III
KESIMPULAN

Psychology Hukum ialah suatu cabang pengetahuan yang mempelajari hukum sebagai suatu perwujudan dari perkembangan jiwa manusia. Psikologi adalah ilmu pengetahuan tentang perilaku manusia (human behaviour), maka dalam kaitannya dengan studi hu­kum, ia akan melihat hukum sebagai salah satu dari pen­cerminan perilaku manusia suatu kenyataan bahwa salah satu yang menonjol pada hukum, terutama pada hukum modern, adalah penggunaannya secara sadar sebagai alat untuk rnen­capai tujuan-tujuan yang dikehendaki. Dengan demikian sadar atau tidak, hukum telah memasuki bidang yang meng­garap tingkah-laku manusia. Bukankah proses demikian ini menunjukkan bahwa hukum telah mernasuki bidang psiko­logi. Terutama psikologi sosial. Sebagai contoh hukum pidana misalnya merupakan bidang hukum yang berkait rapat dengan psikologi, seper-ti tentang paksaan psikologis, peranan sanksi pidana terhadap kriminalitas dan lain sebagainya yang me­nunjukkan hubungan antara hukum dan psikologi. Contoh studi yang jelas misalnya yang diketengahkan dalam pendapat Leon Petrazic (1867 -1931), ahli filsafat hukum yang menggarap unsur psikologis dalam hukum dengan menempatkannya sebagai unsur utama. Leon Petrazycki beranggapan bahwa fe­nomen-fenomen hukum itu terdiri dari proses-proses psikis yang unik, yang dapat dilihat dengan menggunakan metode introspeksi. Apabila kita mempersoalkan tentang hak-hak kita serta hak-hak orang lain dan melakukan perbuatan sesuai dengan itu, maka semua itu bukan karena hak-hak itu dican­tumkan dalam peraturan-peraturan saja, melainkan karena keyakinan sendiri bahwa kita harus berbuat seperti itu. Petrazicky memandang hak-hak dan kewajiban sebagai hal yang hanya ada dalam pikiran manusia, tetapi yang mempunyai arti sosial. Oleh karena ia menciptakan "pengalaman imperatif­atributif' yang mempengaruhi tingkah-laku mereka yang me­rasa terikat olehnya. Beberapa sarjana hukurn secara khusus dan mendalam mempelajari psikologi hukum, sehingga me­ngembangkan ilmu ini.





Daftar Pustaka

Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka cipta; Jakarta, 1995
Soekanto, Soerjono, Hukum Adat Indonesia, RajaGrafindo Persada; Jakarta, 2007
Ishaq, Dasar_Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika; Jakarta, 2009
Rahardjo Satjipto, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti; Bandung, 2006

Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika; Jakarta, 2002 

Macam-Macam Pidana

Mengenai hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap seseorang yang telah bersalah melanggar ketentuan-ketentuan dalam undang-undang hukum pidana, dalam Pasal 10 KUHP ditentukan macam-macam hukuman yang dapat dijatuhkan, yaitu sebagai berikut :

Hukuman-Hukuman Pokok
1.    Hukuman mati, tentang hukuman mati ini terdapat negara-negara yang telah menghapuskan bentuknya hukuman ini, seperti Belanda, tetapi di Indonesia sendiri hukuman mati ini kadang masih di berlakukan untuk beberapa hukuman walaupun masih banyaknya pro-kontra terhadap hukuman ini.[2]
2.    Hukuman penjara, hukuman penjara sendiri dibedakan kedalam hukuman penjara seumur hidup dan penjara sementara.[5]Hukuman penjara sementara minimal 1 tahun dan maksimal 20 tahun. Terpidana wajib tinggal dalam penjara selama masa hukuman dan wajib melakukan pekerjaan yang ada di dalam maupun di luar penjara dan terpidana tidak mempunyai Hak Vistol.[1]
3.    Hukuman kurungan, hukuman ini kondisinya tidak seberat hukuman penjara dan dijatuhkan karena kejahatan-kejahatan ringan atau pelanggaran. Biasanya terhukum dapat memilih antara hukuman kurungan atau hukuman denda. Bedanya hukuman kurungan dengan hukuman penjara adalah pada hukuman kurungan terpidana tidak dapat ditahan diluar tempat daerah tinggalnya kalau ia tidak mau sedangkan pada hukuman penjara dapat dipenjarakan dimana saja, pekerjaan paksa yang dibebankan kepada terpidana penjara lebih berat dibandingkan dengan pekerjaan yang harus dilakukan oleh terpidana kurungan dan terpidana kurungan mempunyai Hak Vistol (hak untuk memperbaiki nasib) sedangkan pada hukuman penjara tidak demikian.[2]
4.    Hukuman denda, Dalam hal ini terpidana boleh memilih sendiri antara denda dengan kurungan. [2] Maksimum kurungan pengganti denda adalah 6 Bulan.[1]
5.    Hukuman tutupan, hukuman ini dijatuhkan berdasarkan alasan-alasan politik terhadap orang-orang yang telah melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara oleh KUHP.[2]
Hukuman Tambahan Hukuman tambahan tidak dapat dijatuhkan secara tersendiri melainkan harus disertakan pada hukuman pokok, hukuman tambahan tersebut antara lain :
1.    Pencabutan hak-hak tertentu.[2]
2.    Penyitaan barang-barang tertentu.[2]
3.    Pengumuman keputusan hakim.[2]

Reverensi
1.     Pengantar Hukum Indonesia, Fully Handayani, S.H, M.kn, Hal. 59-61
2.     Pengantar Ilmu hukum, Subandi AL Marsudi, S.H, M.H, Hal. 146-154