Meluaskan ruang belajar

11. Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan AllahMaha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. 58. Al Mujaadilah : 11. (Berbagi ilmu di ruang Majlis yang luas ini "ngeblog")

مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ بِهِ طَرِيْقًا اِلَى الْجَنَّةِ ـ رواه مسلم

“Barang siapa menempuh suatu jalan untuk menuntut ilmu maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim).

Ilmu dan Iman

Keilmuan kita harus dibarengi dengan iman, begitu juga iman harus dibarengi dengan ilmu, agar kita tidak salah langkah dan menjadi ilmu yang bermanfaat.

Dari Buraidah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

Hakim itu ada tiga, dua orang di neraka dan seorang lagi di surga. Seorang yang tahu kebenaran dan ia memutuskan dengannya, maka ia di surga; seorang yang tahu kebenaran, namun ia tidak memutuskan dengannya, maka ia di neraka; dan seorang yang tidak tahu kebenaran dan ia memutuskan untuk masyarakat dengan ketidaktahuan, maka ia di neraka.” Riwayat Imam Empat. Hadits shahih menurut Hakim.

Sabtu, 22 Juni 2013

Psikologi Hukum

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Dewasa ini keberadaan hukum sangat dirasakan urgennya di dalam masyarakat, sebab hukum tidak hanya berperan untuk keadilan, keteraturan, ketenteraman dan ketertiban; juga untuk menjamin adanya kepastian hukum. Bahkan hukum lebih diarahkan sebagai sarana kemajuan dan kesejahteraan masyarakat "tool of social engineering". Oleh sebab itu diperlukan hukum yang dibentuk atas keinginan dan kesadaran tiap-tiap individu di dalam masyarakat, dengan maksud agar tujuan hukum dapat terwujud sebagaimana dicita-citakan. Yakni: hukum menghendaki kerukunan dan perdamaian dalam pergaulan hidup bersama.
Adapun psikologi hukum adalah cabang ilmu yang mempelajari hukum dari segi ekspresi dan perkembangan jiwa manusia. Menurut Soedjono D., akan melihat hukum sebagai salah satu dari pencerminan perilaku manusia suatu kenyataan bahwa salah satu yang menon­jol pada hukum, terutama pada hukum modern, adalah penggunaan secara sadar sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan yang dike­hendaki. Adapun yang
meninjau ilmu politik secara mendalam dalam kaitannya dengan hukum adalah ilmu pengetahuan politik hukum.

Tujuan
1.      Tujuan teoritis yaitu tujuan untuk mengetahui pengertian psikologi hokum, dan untuk mencari informasi yang lebih jauh lagi tentang sejauh mana psikologi dapat digunakan atau bermanfaat dalam ranah hokum Indonesia ataupun luar negeri
2.      Tujuan praktis yaitu sebagai tugas pengganti dari presentasi yang berguna mendapatkan nilai tambahan psikologi social 2



BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Singkat Psikologi Hukum
Perkembangan ilmu pengetahuan modern sejak renaisans, tidak hanya disambut baik oleh rasionalisme melainkan juga pengetahuan yang harus bersumber dari pengalaman (empeiria). Dengan pendirian dasar itu, pandangan mereka disebut empirisme. Seperti halnya rasionalisme, empirisme berusaha membebaskan diri dari bentuk spekulasi spiritual yang menandai metafisika tradisional. Lama kelamaan aliran empirisme mempelopori kelahiran ilmu-ilmu kemanusiaan modern yang didasarkan pada observasi empiris yaitu psikologi.

Ilmu jiwa yang melahirkan psikologi, berabad-abad yang lalu sebenarnya manusia telah memikirkan tentang hakikat dari jiwa manusia dan jiwa makhluk hidup lainnya. Pikiran itu semula bersifat filsafat dalam arti terutama mencari pengetahuan mengenai dasar-dasar dan hakikat jiwa manusia. Corak pemikiran filsafat waktu itu atomistis, artinya jiwa manusia masih dianggap sebagai sesuatu yang konstan dan tidak berubah, dapat dianalisa ke dalam unsur-unsur tersendiri yang bekerja terpisah antara unsur-unsur itu.

Pandangan atomistis terlihat dari hasil pemikiran sejak filsuf Plato kurang lebih 400 tahun sebelum Masehi sampai pertengahan abad XIX. Mereka memandang ilmu jiwa merupakan cabang dari ilmu filsafat. sejak lahirnya experimental psycology pada abad XIX  yang bukan saja berfilsafat mengenai gejala-gejala kejiwaan melainkan juga mencantumkan secara umum dengan menggunakan metode ilmiah yang substantif mungkin, maka lambat laun  lahirlah psikologi isu.
Psikolog experimental pada tahun 1875, Wilhelm Wunt terdorong oleh keyakinan bahwa gejala-gejala kejiwaan itu mempunyai sifat dan dalil-dalil  yang khas dan yang harus diteliti oleh sarjana illmu jiwa secara khas. Wilhelm Wunt yang menitikberatkan pergolakan jiwa manusia pada alam sadar, dikembangkan oleh Sigmund Freud bahwa kegiatan dan tingkah laku manusia sangat dipengaruhi oleh pergolakan tak sadar bawah sadar tersebut.
Sumbangan yang terbesar Sigmund Freud dalam psikologi  hukum yaitu melalui pidatonya di depan hakim Austria tentang ”keputusan hakim yang dipengaruhi oleh proses-proses tak sadar”. ”Even lain yang membuat para psikolog sadar bahwa ide mereka dapat digunakan untuk mentransformasikan sistem hukum adalah terbitnya buku yang berjudul on the witnes stand oleh Hugo Munstenberg (1907)”  (Constanzo, 2006:4), demikian juga dengan munculnya beberapa penelitian psikologi dalam lapangan ilmu hukum seperti diskriminasi hukum, hukuman berat, pornografi, perilaku seks, dan syarat penahanan seorang untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya menanandai kelahiran psikologi dan hukum.
Sejarah singkat psikologi dan hukum juga dapat diamati berdasarkan tulisan Hakim Agung Sail Warren sebagaimana dikemukakan  oleh Mark Constanzo (2006: 9) “kebijakan pemisahan ras biasanya diinterpretasikan sebagai pertanda menganggap kelompok Negro sebagai kelompok inferior. Perasaan inferioritas ini mempengaruhi motivasi belajar anak, oleh sebab itu segregasi yang disertai dengan sanksi hukum, memiliki tendensi untuk memperlambat perkembangan dan pendidikan mental anak Negro dan membuat mereka tidak dapat memperoleh keuntungan yang mestinya dapat mereka peroleh di dalam sistem persekolahan yang secara rasial terintegrasi”.
Hal tersebut,  Mark Constanzo (2006:15) menyimpulkan ”bahwa pemisahan anak kulit hitam semata-mata karena rasnya melahirkan perasaan inferioritas terhadap statusnya di masyarakat, yang dapat mempengaruhi jiwa dan pemikiran mereka sedemikian rupa sehingga tidak akan pernah mungkin dipulihkan”.

B. Pengertian Psikologi
Psikologi apabila ditinjau dari segi ilmu bahasa berasal dari kata psycho, dan logos. Psychosering diartikan jiwa dan logos yang berarti ilmu (ilmu pengetahuan). Dengan demikian, psikologi sering diartikan dengan ilmu pengetahuan tentang jiwa (ilmu jiwa).

Hukum dibentuk oleh jiwa manusia, baik putusan pengadilan maupun perundang-undangan merupakan hasil jiwa manusia. Oleh karena itu, psikologi merupakan karakteristik hukum yang tidak dapat dipisahkan dari hukum itu sendiri. Dalam hal ini Purnadi Purbacaraka, Soerjono Soekanto memberikan definisi psikologi hukum, yaitu suatu cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari hukum sebagai perwujudan dari pada perkembangan jiwa manusia. (Ishaq,2009,241)

Pengenalan psikologi pertama kali sebagai ilmu pengetahuan yang otonom dan berdiri sendiri terjadi pada akhir abad ke- 19, yang pada waktu itu masih menjadi cabang ilmu pengetahuan filsafat dan psikologi juga sering menjadi sudut kajian sosiologi. Dalam perjalanan sejarah  yang singkat psikologi telah didefenisikan dalam berbagai cara, para ahli psikologi terdahulu mendefenisikan psikologi sebagai “studi kegiatan mental”.
Kata psikologi sering disebut ilmu jiwa, berasal dari bahasa Yunani psyche artinya jiwa dan logos berarti ilmu. Dengan demikan psikologi dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari kejiwaan atau ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia, atau sebab tingkah laku manusia  yang dilatarbelakangi oleh kondisi jiwa seseorang atau secara singkat dapat diartikan sebagai studi mengenai proses perilaku dan proses mental.
Menurut Rita Atkinson (1983: 19) Pendefenisian psikologi juga dilatarbelakangi oleh perkembangan sejarah dalam aliran psikologi, hal ini dapat dilihat melalui perubahan defenisi mengenai psikologi seperti berikut ini:
1.      Wilhelm Wunt (1892), psikologi bertugas menyelidiki apa yang kita sebut  pengalaman dalam sensasi dan perasaan kita sendiri, pikiran serta kehendak kita yang bertolak belakang dengan setiap obyek pengalaman luar yang melahirkan pokok permasalahan ilmu alam.
2.      William James (1980), psikologi adalah ilmu mengenai kehidupan mental, termasuk fenomena dan kondisi-kondisinya. Fenomena adalah apa yang kita sebut sebagai perasaan, keinginan, kognisi, berpikir logis, keputusan-keputusan dan sebagainya.
3.      James Angell (1910), psikologi adalah semua kesadaran di mana saja, normal atau abnormal, manusia atau binatang yang dicoba untuk dijelaskan pokok permasalahannya.
4.      John B Watson (1919), psikologi merupakan bagian dari ilmu alam yang menekankan perilaku manusia, perbuatan dan ucapannya baik yang dipelajari maupun yang tidak sebagai pokok masalah.
5.      Kurt Koffka (1925), psikologi adalah studi ilmiah mengenai perilaku makhluk hidup dalam hubungan mereka  dengan dunia luar.
6.      Arthur Gates (1931), psikologi adalah salah satu bidang yang mencoba menunjukan, menerangkan, dan menggolongkan berbagai macam kegiatan yang sanggup dilakukan oleh binatang, manusia, atau lainnya.
7.      Norman Munn (1951), psikologi sebagai “ilmu mengenai perilaku” tetapi hal yang menarik, pengertian perilaku yang telah mengalami perkembangan, sehingga sekarang ikut menangani hal yang pada masa lampau disebut pengalaman.
8.      Kennet Clark dan George Milter (1970), psikologi adalah studi ilmiah mengenai perilaku, lingkupnya mencakup berbagai proses perilaku yang dapat diamati, seperti gerak tangan, cara berbicara, dan perubahan kejiwaan dan proses yang hanya dapat diartikan sebagai pikiran dan mimpi.
9.      Richard Mayer (1981), psikologi merupakan analisis ilmiah mengenai proses mental  dan struktur daya ingat untuk memahami perilaku manusia.
Berdasarkan defenisi di atas, mempelajari psikologi berarti mengenal manusia dalam arti memahami, menguraikan dan memaparkan manusia sebagai individu dan sosial serta berbagai macam tingkah laku dan kepribadian manusia, juga seluruh aspek-aspeknya.Psyche (jiwa) adalah kekuatan hidup atau sebabnya hidup (anima).
Dari pengertian-pengertian psikologi yang telah disebutkan di atas, penulis berpendapat antara psikologi dan hukum dari sudut kajiannya  adalah  keduanya mengkaji gejala-gejala sosial, hal ini jika menilik kembali pengertian hukum secara empirik. Keduanya memfokuskan diri pada perilaku manusia, yang berusaha menyelesaikan masalah serta memperbaiki kondisi manusia. Craig Haney menyatakan  “bahwa psikologi bersifat deskriptif dan hukum bersifat perskriptif” (Haney: 1981 dalam Kapardis: 1999). Artinya psikologi menjelaskan tentang bagaimana orang berperilaku secara aktual, hukum menjelaskan bagaimana orang seharusnya berperilaku, tujuan utama ilmu psikologi adalah memberikan penjelasan yang lengkap dan akurat mengenai perilaku manusia, tujuan utama hukum adalah mengatur perilaku manusia. Dalam arti yang agak lebih idealistis, ilmu psikologi  menurut Constanzo (2006: 12) “terutama tertarik untuk menemukan kebenaran sedangkan sistem hukum terutama tertarik untuk memberikan keadilan”.
Berdasarkan keterkaitan kedua terminologi tersebut maka psikologi hukum dapat diartikan sebagai studi psikologi yang mempelajari ketidakmampuan  individu untuk melakukan penyesuaian terhadap norma hukum yang berlaku atau tidak berhasilnya mengatasi tekanan-tekanan yang dideritamya. Dalam kondisi yang demikianlah maka diperlukan studi psikologi terhadap hukum yang disebut psikologi hukum. Menurut  Soerjono Soekanto (1983:2) “psikologi hukum adalah studi hukum yang akan berusaha menyoroti hukum sebagai suatu perwujudan dari gejala-gejala kejiwaan tertentu, dan juga landasan  kejiwaan dari perilaku atau sikap tindak tersebut”.
Di bawah ini dikutip beberapa defenisi psikologi hukum yang terdapat dalam berbagai literatur, yaitu:
1.      Sebagai suatu pencerminan dari perilaku manusia (human behaviour). (Sorjono Soekanto,1989; R. Ridwan Syahrai,1999;  Bernard Arief  Sidharta, 2000; Soedjono Dirdjosuwiryo,2001; Sudarsono, 2001; Soeroso, 2004; Munir Fuady, 2006).
2. Sebagai bentuk pelayanan psikologi yang dilakukan dalam hukum meliputiPsycho-Legal Issue, pendampingan di pengadilan dan prilaku kriminal (The Commite On Etnical Guidelines For Forensic Psychology dalam Rahayu: 2003, hal. 3)
3.      Meliputi legal issue; penelitian dalam kesaksian, penelitian dari pengambilan keputusan yuri dan hakim, begitu pula di dalam kriminologi untuk menentukan sebab-sebab, langkah-langkah preventif, kurasif, perilaku kriminal dan pendampingan di pengadilan yang dilakukan oleh para ahli di dalam pengadilan (Blackburn: 1996)
4.      Meliputi aspek perilaku manusia dalam proses hukum, seperti ingatan saksi, pengambilan keputusan hukum oleh yuri, dan pelaku kriminal (Curt  R. Bartol:1983)
5.      Suatu pendekatan yang menekankan determinan-determinan manusia dari hukum, termasuk dari perundang-undangan dan putusan hakim, yang lebih menekankan individu sebagai unit analisisnya. Perhatian utama dari kajian psikologi hukum yaitu lebih tertuju pada proses penegakan hukum (saksi mata, tersangka/terdakwa, korban kriminal, jaksa penuntut umum, pengacara hakim dan terpidana) (Rahayu: 2003)
6.      Psikologi hukum adalah suatu kajian tentang sifat, fungsi, dan perilaku hukum dari pengalaman mental dari individu dalam hubungannya dengan berbagai fenomena hukum (pengertian ini didasarkan pada defenisi psikologi sosial oleh Edward E. Jones: 1996)
7.      Cabang metode studi hukum yang masih muda, yang lahir karena kebutuhan dan tuntutan akan kehadiran psikologi dalam studi hukum, terutama sekali bagi praktik penegakan hukum, termasuk untuk kepentingan pemeriksaan  di muka sidang pengadilan. (Ishaq: 2008, 241).
8.      Cabang ilmu hukum (pengembanan hukum teoritis/sistem hukum eksternal; sudut pandang hukum sebagai pengamat) yang bertujuan untuk memahami hukum dari sudut pandang psikologi dengan menggunakan pendekatan/sudut pandang psikoanalisis, psikologi humanistik dan psikologi perilaku (empirik). (Meuwissen dalam Sidharta: 2008)
9.      psychology and law is a relatively young field of scholarhip. Connceptualized broadly, the field encompases diverse approaches to psychology. Each of major psychologycal subdivisions has contributed to research on legal isues: cognitive (e.g. eyewitnes testimony), developmental (e.g., children testimony), social (e.g., jury behavior), clinical (e.g, assesment of competence), biological (e.g, the polygraph), and industrial organizational psychology (e.g,  sexual harassment in the workplace). (Encyclopedia of Psychology & Law: 2008)
10.   legal psychology involves empirical, psychology research of the law, legal institution, and people who come into contant with the law. Legal psychologist typically take basic social and cogniive theories and principles and apply them to issues in the legal system such as eyewitness memory, jury decision-making, investigations, and interviewing. The term ” legal psychology” has only recently come into usage, primarily as a way to differentiate the exprimental focos of legal psycholgy from the clinically-oriented forensic psychology. (Wikipedia, The Free Encyclopedia)

Leon Petraryki (1867 - 1931), seorang ahli filsafat hukum, menggarap unsur psikologis dalam hukum dengan mendudukkannya sebagai unsur yang utama. Sarjana tersebut berpendapat, bahwa fenomen-fenomen hukum itu terdiri dari proses-proses psikis yang unik, yang dapat dilihat dengan mcngggunakan metoda introspeksi (Satjipto , 2006: 360). Apabila kita mempersoalkan tentang hak-hak kita scrta hak-hak orang lain dan melakukan perbuatan sesuai dengan itu, maka itu semua bukan karena hak-hak itu dicantumkan dalam peraturan-peraturan, melainkan semata-mata karena keyakinan kita sendiri, bahwa kita harus berbuat seperti itu, demikian Petraricky. Ia memandang hak-hak dan kewajiban-kewajiban sebagai “phantasmata”, yang hanya ada dalam pikiran kita, tetapi yang mempunyai arti sosial penting, oleh karena ia menciptakan “pengalaman imperatif-atributit” yang mempengaruhi tingkah laku mereka yang merasa terikat olehnya (Sutjipto, 2006 : 360).
Penulis berikutnya yang akan dibicarakan adalah Jerome Frank. Melalui bukunya “Law and the Modern Mind” (1930), Frank kemudian menjadi terkenal, bahwa ada yang menamakannya suatu karya klasik dalam ilmu hukum umum.
Frank, biasanya digolongkan ke dalam Aliran Realismv di Amerika Serikat. Sesuai dcngan pola pemikiran aliran tersebut, hal yang menjadi sasaran adalah hukum scbagaimana diproses dalam pengadilan. Tetapi penggarapan Frank tcrnyata tidak hanya terbatas pada proses-proses dalam pengadilan, melainkan ia mengangkatnya sampai ke peringkat yang lebih tinggi lagi, sehingga sudah bergerak dalam teori hukum yang umum.
Frank menyerang angrapan dan pandangan kebanyakan orang tentang hukum dan dalam bukunya yang disebut di muka> ia mulai dengan mengupas apa yang disebutnya sebagai suatu “mitos dasar” dalam hukum (Sutjipto, 2006 : 361). Frank yang sendirinya adalah seorang hakim, melihat, bahwa hukum itu tidak akan pernah bisa memuaskan keinginan kita untuk memberikan kepastian. Sejak dulu, sekarang dan di waktu-waktu yang akan datang, bagian terbesar dan hukum bersifat samar-samar dan bervariasi. Menurut dia, keadaan yang demikian itu tidak bisa lain, oleh karena hukum itu berurusan dcngan hubungan-hubung an antara manusia dalam segi-seginya yang sangat kompleks. Olch karena itu mengharapkan, bahwa hukum akan bisa memberikan kepastian yang berlebihan, adalah suatu perbuatan yang keliru dan tidak perlu.
Tetapi, yang justru merisaukan Frank adalah persoalan, mengapa orang sampai menghendaki dan mengharapkan kepastian hukum yang berlebihan itu. Menurut Frank, hal itu tentunya tidak berakar pada sesuatu yang nyata, melainkan menginginkan sesuatu yang tidak nyata (unreal)(Soetjipto, 2006 : 361).
Dalam usahanya untuk menjawab dan menjelaskan apa yang menjadi sebab-sebab keinginan sebagaimana disebut di atas, Frank mulai memasuki bidang psikologi. Dalam hal ini ia menarik pelajaran dari karya-karya tentang psikologi anak-anak dari Freud dan Piaget, khususnya yang menyangkut soal ketergantungan kepada sang ayah dari seorang anak dan hasil dari ketergantungan yang demikian itu, pada saat anak tersebut menjadi dewasa, berupa kegandrungann (hanker) kepada pengganti sang ayah (Soetjipto, 2006: 361). Penjelasannya secara terperinci adalah sebagai berikut (Soetjipto, 2006: 361) :
1.      Dorongan keinginan seperti pada bayi untuk mendapatkan keadaan damai seperti sebelum dilahirkan. Sebaliknya adalah, ketakutan kepada hal-hal yang tidak diketahui, kepada kesenipatan dan perubahan, sebagai faktor-faktor yang penting dalam kehidupan seorang anak.
2.      Faktor-faktor ini mewujudkan dirinya sendiri ke dalam cita rasa kekanak-kanakan yang mendambakan kedamaian sempurna, kesenangan, perlindungan terhadap bahaya-bahaya yang tidak diketahui. Si anak secara tidak realistis akan merindukan dunia yang teguh dan penuh kepastian dan bisa dikontrol.
3.      Si anak mendapatkan kepuasan akan kerinduannya ilu, pada umumnya, melalui kepercayaannya dan penyandaran dirinya kepada sang ayah yang tidak ada bandingannya, yang serba bisa dan yang selalu berhasil.
4.      Sekalipun orang menjadi semakin dewasa, kebanyakan orang pada waktu-waktu tertentu menjadi korban dari keinginan-kcinginan kekanak-kanakan tersebut di atas. Baik dalam situasi aman, apalagi dalam bahaya, dalam keadaan yang penuh ancaman, seorang ingin melarikan diri kepada ayahnya. “Kebergantungan kepada ayah” yang semula merupakan sarana untuk melakukan adaptasi, pada akhirnya berubah menjadi tujuan sendiri.
5.      Hukum bisa dengan mudah dibuat sebagai sesuatu yang memainkan peranan penting dalam usaha untuk mendapatkan kembali sang ayah. Sebab, secara fungsional, tampaknya hukum mirip dengan sang ayah sebagai Hakim.
6.      Ayah sebagai Hakim dari si anak tidak pernah gagal. Keputusan-keputusan dan perintah-perintahnya dianggap menciptakan ketertiban .dari keadaan yang kacau serta konflik-konflik pandangan mengenai tingkah laku yang baik. Hukum baginya tampak sebagai mutlak pasti dan dapat diramalkan. Orang yang menjadi dewasa, pada saat mereka ingin menangkap kembali suasana kepuasan dunia anak-anak, tanpa menyadari sepenuhnya akan motivasi di belakangnya, mencari kewibawaan (authoritativeness), kapasilas dan prediktabilitas dalam sistem-sistem hukum. Anak ini percaya, bahwa sang ayah telah meletakkan itu semga di dalam hukum.
7.      Dari sinilah munculnya mitos hukum, bahwa hukum itu adalah, atau bisa-dibuat tidak bergetar, pasti dan mapan. ­
C. Ruang lingkup psikologi hukum
Orientasi lapangan psikologi tersebut diatas, sebagai ilmu sosial, tentunya akan melakukan  pengujian (hipotesa) dalam lapangan ilmu hukum khususnya dalam penegakan hukum (law enforcement). Melalui sintesa dari riset psikologi juga akan melahirkan ruang lingkup psikologi hukum.
Psikologi hukum sebagai cabang ilmu yang baru yang melihat kaitan antara jiwa manusia disatu pihak dengan hukum di lain pihak terbagi dalam beberapa ruang lingkup antara lain:
Menurut  Soedjono, ruang lingkup psikologi hukum (1983:40) sebagai berikut:
1.      Segi psikologi tentang terbentuknya norma atau kaidah hukum.
2.      Kepatuhan atau ketaatan terhadap kaedah hukum.
3.      Perilaku menyimpang.
4.      Psikologi dalam hukum pidana dan pengawasan perilaku.
Demikianpun Soerjono Soekanto (1979: 11) membagi  ruang lingkup psikologi hukum yaitu:
Dasar-dasar kejiwaan dan fungsi pelanggaran terhadap kaidah hukum.
1.      Dasar-dasar kejiwaan dan fungsi pola-pola peyelesaian pelanggaran kaidah hukum.
2.      Akibat-akibat dari pola penyelesaian sengketa tertentu.
Pada negara yang memiliki sistem hukum common law seperti Amerika, juga membagi penerapan psikologi dalam hukum. Kelimpahan penerapan psikologi dalam hukum (Blackburn 1996, 6; Curt R. Bartol 1983, 20 -21; David S. Clark, 2007; Stephenson, 2007; ) dibedakan dari sudut pandang apa yang diistilahkan:
1.      Psikologi dalam hukum (psychology in law), mengacu kepenerapan-penerapan spesifik dari psikologi di dalam hukum seperti  tugas psikolog menjadi saksi ahli, kehandalan kesaksian saksi mata, kondisi mental terdakwa, dan memberikan rekomendasi hak penentuan perwalian anak, dan menentukan realibitas kesaksian saksi mata.
2.      Psikologi dan hukum (psychology and law), meliputi psyco-legal research yaitu penelitian individu yang terlibat di dalam hukum, seperti kajian terhadap perilaku pengacara, yuri, dan hakim.
3.      Psikologi  hukum (psychology of law), mengacu pada riset psikologi mengapa orang-orang mematuhi atau tidak mematuhi Undang-undang tertentu, perkembangan moral, dan persepsi dan sikap publik terhadap berbagai sanksi pidana, seperti apakah hukuman mati dapat mempengaruhi penurunan kejahatan.
4.      Psikologi forensik (forensic psychology), suatu cabang psikologi untuk penyiapan informasi bagi pengadilan (psikologi di dalam pengadilan).
5.      criminal psychology (psikologi hukum pidana), sumbangan psikologi hukum yang menggambarkan dinamika interpersonal dan kelompok dari pembuatan putusan pada suatu tahapan kunci di dalam proses mendakwa seseorang mulai dari waktu penetapannya sebagai tersangka hingga pada momen penjatuhan pidana
6.      Neuroscience and law, suatu kajian baru tentang keunikan pentingnya pengaruh otak dan syaraf bagi perilaku manusia, masyarakat , dan hukum. Kajiannya meliputi wawasan baru tentang isu-isu pertanggungjawaban, meningkatkan kemampuan untuk membaca pikiran, prediksi yang lebih baik terhadap perilaku yang akan datang, dan prospek terhadap peningkatan kemampuan otak manusia.
Selanjutnya Constanzo (1994:3); encyclopedia of psychology & law, volume 1 (2008: xiii) melakukan pendekatan psikologi terhadap hukum melalui bidang ilmu psikologi. Beberapa contohnya adalah:
1.      Psikologi perkembangan, menyusul terjadinya perceraian, pengaturan hak asuh anak seperti apa yang akan  mendukung perkembangan kesehatan anak? dapatkah seorang anak yang melakukan tindakan pembunuhan benar-benar memahami sifat dan kondisi tindakannya?.
2.      Psikologi sosial, bagaimana polisi yang melaksanakan interogasi menggunakan prinsip-prinsip koersi dan persuasi untuk membuat tersangka mengakui tindak kejahatannya? Apakah dinamika kelompok di dalam tim juri mempengaruhi keputusan yang mereka ambil?
3.      Psikologi klinis, bagaimana cara memutuskan bahwa seseorang yang menderita gangguan jiwa cukup kompeten untuk menghadapi proses persidangan? Mungkinkah memperediksi bahwa seseorang yang menderita gangguan jiwa kelak akan menjadi orang yang berbahaya?
4.      Psikologi kognitif, seberapa akuratkah kesaksian para saksi mata? dalam kondisi seperti apa saksi mata mampu mengingat kembali apa yang pernah mereka lihat? Apakah para juri memahami instruksi tim juri dengan cara yang sama seperti yang diinginkan oleh para pengacara dan hakim?
Ruang lingkup psikologi hukum sebagaimana yang tertera di atas merupakan suatu tanda dari suatu perkembangan di lapangan studi psikologi. Dalam hubungan dengan perkembangan di bidang psikologi, psikologi hukum tergolong psikologi khusus, yaitu psikologi yang menyelidiki dan mempelajari  segi-segi kekhususan dari aktifitas  psikis manusia.
Berdasarkan hal tersebut   menurut Ishaq (2008:241) dalam psikologi hukum akan dipelajari  sikap tindak/ perikelakuan yang terdiri atas:
1.      Sikap tindak perikelakuan hukum yang normal, yang menyebabkan seorang akan mematuhi hukum.
2.      Sikap tindak/perikelakuan yang abnormal, yang menyebabkan seorang melanggar hukum, meskipun dalam keadaan tertentu dapat dikesampingkan.
Masalah normal dan abnormal merupakan suatu gerak antara dua kutub yang ekstrim. Kedua kutub yang ekstrim tersebut adalah keadaan normal dan keadaan abnormal. Penyimpangan terhadap kedaan normal dalam keadaan tertentu masih dapat diterima, tetapi hal itu sudah menuju pada penyelewengan, maka kecenderungan kaedah abnormalitas semakin kuat, secara skematis perosesnya adalah sebagai berikut:
Pada titik normal, seseorang  mematuhi kaidah hukum dan  dalam keadaan tertentu dapat disimpangi. Psikologi hukum di satu pihak, yaitu menelaah faktor-faktor psikologis yang mendorong orang untuk mematuhi kaidah hukum, dilain pihak juga meneliti faktor-faktor yang mungkin mendorong orang untuk melanggar kaedah hukum  (Soerjono Soekanto 1989:17-18).

D. Perkembangan kejiwaan
Perkembangan kejiwaan dalam kehidupan manusia menurut Saut P. Panjaitan paling sedikit dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti berikut.
1.    Proses pematangan, yang meliputi penyempurnaan fungsi tubuh.
2.   Proses belajar, yang berhubungan dengan proses memperbaiki sikap-tindak/ perikelakuan, baik melalui imitasi maupun edukasi.
3.    Proses pengalaman, yang berkaitan dengan interaksi terhadap lingkungan kemasyarakatan di manapun seseorang berada.
Ketiga faktor di atas dapatlah dipahami sementara bahwa setiap manusia akan mempunyai kepribadian (perkembangan kejiwaan) yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, psikologi penting bagi ilmu hukum untuk mengetahui latar belakang kejiwaan dari suatu sikap tindak/perikelakuan hukum tertentu. Jiwa merupakan suatu organ yang membentuk gagasan dan pelaksanaannya mempengaruhi nalar, maka hukum seharusnya menarik bagi jiwa manusia yang dipengaruhi oleh hukum.
Berdasarkan hal tersebut, dalam psikologi hukum akan dipelajari sikap­ tindak/perikelakuan hukum dari seseorang yang terdiri atas: (1) sikap tindak/ perikelakuan hukum yang normal, yang menyebabkan seseorang akan mematuhi hukum, (2) sikap tindak/perikelakuan yang abnormal, yang menyebabkan seseorang melanggar hukum, meskipun dalam keadaan tertentu dapat dikesampingkan.
Sikap tindak/perikelakuan seseorang yang mematuhi hukum dilandasi oleh adanya keyakinan atau kesadaran akan kedamaian pergaulan hidup. Keyakinan atau kesadaran hukum ini menjadi landasan keajegan (regelmatigheden) maupun keputusan-keputusan (beslissingen), merupakan wadah dari jalinan nilai hukum yang mengendap dalam sanubari manusia. Inilah kesadaran hokum (rechtsbewustzijn) atau perasaan hukum.
Kesadaran hukum sebenarnya merupakan kesadaran akan nilai-nilai yang terdapat di dalam diri manusia tentang hukum yang ada atau yang diharapkan akan ada. Jalinan nilai-nilai dalam diri manusia tersebut merupakan abstraksi sosial yang kontinu, dan bersifat dinamis, dalam rangka memilih tujuan dalam kehidupan sosial, yang menjadi penggerak manusia ke arah pemenuhan hasrat hidupnya.
Sikap tindak/perikelakuan yang abnormal menyebabkan seseorang melanggar norma/kaedah hukum. Ada beberapa gejala psikologis yang berpengaruh terhadap perilaku menyimpang yang melanggar hukum, antara lain sebagai berikut.
1.    Neurosis, yaitu suatu gangguan jasmaniah yang disebabkan oleh faktor kejiwaan atau gangguan pada fungsi jaringan saraf. Contoh: phobia, rasa takut terhadap hal-hal yang dianggap mengancam, misalnya rasa takut pada tempat yang tinggi. Depresi, adanya rasa negatif terhadap diri sendiri (putus asa).
2. Psikhosis, merupakan suatu gejala seperti reaksi schizophrenic, yang menyangkut proses emosional dan intelektual. Gejalanya adalah seseorang sama sekali tidak mengacuhkan apa yang terjadi di sekitarnya. Reaksi paranoid, di mana seseorang selalu dibayangi oleh hal-hal yang (seolah-olah) mengancam dirinya. Oleh karena itu, dia akan “menyerang” terlebih dahulu. Reaksi efektif dan involutional, di mana seseorang merasakan adanya depresi yang sangat kuat.
3.   Gejala sosiopatik, yang mencakup:
a.    reaksi antisosial (psikhopat), yang ciri utamanya adalah orang tersebut hampir-hampir tidak mempunyai etika/moral. Misalnya tidak pernah merasa bersalah, tidak pernah bertanggung jawab, tidak mempunyai tujuan hidup dan sebagainya.
b.    reaksi dissosial, yakni orang selalu berurusan dengan.hukum, karena ada kekurangan dalam latar belakang kehidupannya.
c.    deviasi seksual, yaitu perikelakuan seksual yang menyimpang dilakukan oleh orang-orang yang menikmati perbuatan tersebut, yang bertentangan dengan norma-norma yang berlaku. Seperti homosek­sualitas, pelacuran, perkosaan, dan sebagainya.
d.    addiction (ketergantungan), misalnya ketergantungan pada “naza” (narkotika, alkohol, dan zat adiktif lainnya).(Ishaq,2009,241)

E. Proses perubahan dalam hukum
Setiap proses perubahan, selalu menyangkut bermacam-macam aspek, seperti misalnya, aspek politis, ekonomis, sosial, dan lain sebagainya. Yang mungkin agak kurang diperhatikan, adalah masalah psikologis yang dihadapi di dalam pem­bangunan, walaupun tidak jarang orang menyinggung soal mentalitas di dalam pembangunan. Masalah psikologis tersebut menyangkut soal bagaimana manusia mengubah dirinya di dalam proses pembangunan tersebut. Hal itu mungkin menyangkut orang-orang macam apa yang mempelopori perubahan, manusia bagaimanakah yang mudah berubah dan pihak manakah yang sulit untuk menyesuaikan diri dengan perubah­an yang terjadi. Di dalam proses pembangunan hukum, hal-hal itu juga perlu dipertimbangkan, oleh karena hukum adat secara tradisional telah menjiwai bagian terbesar dari warga-warga masyarakat Indonesia.
Salah seorang pelopor yang mempelajari aspek psikologis di dalam proses perubahan, adalah L.W. Doob, seorang guru besar dari Yale Univer­sity, Amerika Serikat. Menurut Doob, maka masalah utamanya menyang­kut dua hal, yakni:
1.      Mengapa warga masyarakat yang mengalami perubahan dalam hal-­hal tertentu bertambah modern (dalam pengertiannya, tambah ber­adab)
2.      Apakah yang terjadi dengan mereka yang tambah modern; artinya apakah yang berubah dalam cara berpikir, kepercayaan, kepribadian, dan selanjutnya?
Di dalam studinya, juga dipergunakan dikotomi tradisional dan modern, dan ada suatu usaha untuk mengadakan klasifikasi ciri-ciri masyarakat yang lebih sederhana. Ciri-ciri tersebut adalah, sempitnya ruang lingkup hubungan-hubungan sosial, adanya pelbagai pembatasan-pembatasan, kepercayaan dan kemutlakan, keseragaman perilaku, dan kesederhanaan. Penelitian Doob terutama dilakukan di Luo, Ganda, Zulu dan Jamaica, dengan jalan memperbandingkan kecende­rungan-kecenderungan yang ada pada generasi tua dan muda, serta antara mereka yang berpendidikan dengan yang taraf pendidikannya kurang tinggi. Kemudian dia juga membandingkan pola-pola kehidupan orang-orang Indian dan kulit putih di Amerika Serikat, serta mem­pergunakan konsep-konsep yang pernah dikembangkan oleh Daniel Lerner mengenai tahap tradisional, transisi, dan modern. Dari hasil-hasil penelitiannya, antara lain, dapat diambil kesimpulan, bahwa perubahan lebih banyak dialami oleh orang-orang yang mempunyai orientasi jauh kemuka. Kecuali itu, maka ada suatu kecenderungan, bahwa perubahan sangat sukar terjadi pada pola kehidupan keluarga.
Kemudian Doob pernah mengemukakan suatu teori, yang dinama­kannya the piecemealness of change. Intinya adalah bahwa apabila suatu pola perilaku yang tertanam dengan kuatnya dan sangat memuaskan ingin diubah, maka perubahan tersebut baru akan terjadi apabila beberapa unsur tertentu diganti. Oleh karena itu, teorinya disebut piece­meal. Halnya adalah sama, apabila suatu perilaku baru harus dipelajari, maka hal itu akan berlangsung bagian demi bagian, atau unsur demi unsur. Untuk kemudian dipelajari secara menyeluruh.
Teori maupun hasil-hasil penelitian Doob yang kemudian diberi komentar oleh Godthorpe, dapat dijadikan bahan pertimbangan di dalam pembangunan hukum, terutama di dalam hubungannya dengan hukum adat. Ada aspek-aspek tertentu, di mana pembangunan hukum mau tidak mau harus dilakukan melalui hukum adat; aspek-aspek manakah itu, perlu diteliti secara seksama. Memang, suatu pembangunan hukum memakan waktu yang relatif lama, oleh karena sekaligus juga memerlukan pelembagaan dan pembudayaan secara sistematis. (Soerjono, 2007: 366)




BAB III
KESIMPULAN

Psychology Hukum ialah suatu cabang pengetahuan yang mempelajari hukum sebagai suatu perwujudan dari perkembangan jiwa manusia. Psikologi adalah ilmu pengetahuan tentang perilaku manusia (human behaviour), maka dalam kaitannya dengan studi hu­kum, ia akan melihat hukum sebagai salah satu dari pen­cerminan perilaku manusia suatu kenyataan bahwa salah satu yang menonjol pada hukum, terutama pada hukum modern, adalah penggunaannya secara sadar sebagai alat untuk rnen­capai tujuan-tujuan yang dikehendaki. Dengan demikian sadar atau tidak, hukum telah memasuki bidang yang meng­garap tingkah-laku manusia. Bukankah proses demikian ini menunjukkan bahwa hukum telah mernasuki bidang psiko­logi. Terutama psikologi sosial. Sebagai contoh hukum pidana misalnya merupakan bidang hukum yang berkait rapat dengan psikologi, seper-ti tentang paksaan psikologis, peranan sanksi pidana terhadap kriminalitas dan lain sebagainya yang me­nunjukkan hubungan antara hukum dan psikologi. Contoh studi yang jelas misalnya yang diketengahkan dalam pendapat Leon Petrazic (1867 -1931), ahli filsafat hukum yang menggarap unsur psikologis dalam hukum dengan menempatkannya sebagai unsur utama. Leon Petrazycki beranggapan bahwa fe­nomen-fenomen hukum itu terdiri dari proses-proses psikis yang unik, yang dapat dilihat dengan menggunakan metode introspeksi. Apabila kita mempersoalkan tentang hak-hak kita serta hak-hak orang lain dan melakukan perbuatan sesuai dengan itu, maka semua itu bukan karena hak-hak itu dican­tumkan dalam peraturan-peraturan saja, melainkan karena keyakinan sendiri bahwa kita harus berbuat seperti itu. Petrazicky memandang hak-hak dan kewajiban sebagai hal yang hanya ada dalam pikiran manusia, tetapi yang mempunyai arti sosial. Oleh karena ia menciptakan "pengalaman imperatif­atributif' yang mempengaruhi tingkah-laku mereka yang me­rasa terikat olehnya. Beberapa sarjana hukurn secara khusus dan mendalam mempelajari psikologi hukum, sehingga me­ngembangkan ilmu ini.





Daftar Pustaka

Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka cipta; Jakarta, 1995
Soekanto, Soerjono, Hukum Adat Indonesia, RajaGrafindo Persada; Jakarta, 2007
Ishaq, Dasar_Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika; Jakarta, 2009
Rahardjo Satjipto, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti; Bandung, 2006

Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika; Jakarta, 2002 

Macam-Macam Pidana

Mengenai hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap seseorang yang telah bersalah melanggar ketentuan-ketentuan dalam undang-undang hukum pidana, dalam Pasal 10 KUHP ditentukan macam-macam hukuman yang dapat dijatuhkan, yaitu sebagai berikut :

Hukuman-Hukuman Pokok
1.    Hukuman mati, tentang hukuman mati ini terdapat negara-negara yang telah menghapuskan bentuknya hukuman ini, seperti Belanda, tetapi di Indonesia sendiri hukuman mati ini kadang masih di berlakukan untuk beberapa hukuman walaupun masih banyaknya pro-kontra terhadap hukuman ini.[2]
2.    Hukuman penjara, hukuman penjara sendiri dibedakan kedalam hukuman penjara seumur hidup dan penjara sementara.[5]Hukuman penjara sementara minimal 1 tahun dan maksimal 20 tahun. Terpidana wajib tinggal dalam penjara selama masa hukuman dan wajib melakukan pekerjaan yang ada di dalam maupun di luar penjara dan terpidana tidak mempunyai Hak Vistol.[1]
3.    Hukuman kurungan, hukuman ini kondisinya tidak seberat hukuman penjara dan dijatuhkan karena kejahatan-kejahatan ringan atau pelanggaran. Biasanya terhukum dapat memilih antara hukuman kurungan atau hukuman denda. Bedanya hukuman kurungan dengan hukuman penjara adalah pada hukuman kurungan terpidana tidak dapat ditahan diluar tempat daerah tinggalnya kalau ia tidak mau sedangkan pada hukuman penjara dapat dipenjarakan dimana saja, pekerjaan paksa yang dibebankan kepada terpidana penjara lebih berat dibandingkan dengan pekerjaan yang harus dilakukan oleh terpidana kurungan dan terpidana kurungan mempunyai Hak Vistol (hak untuk memperbaiki nasib) sedangkan pada hukuman penjara tidak demikian.[2]
4.    Hukuman denda, Dalam hal ini terpidana boleh memilih sendiri antara denda dengan kurungan. [2] Maksimum kurungan pengganti denda adalah 6 Bulan.[1]
5.    Hukuman tutupan, hukuman ini dijatuhkan berdasarkan alasan-alasan politik terhadap orang-orang yang telah melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara oleh KUHP.[2]
Hukuman Tambahan Hukuman tambahan tidak dapat dijatuhkan secara tersendiri melainkan harus disertakan pada hukuman pokok, hukuman tambahan tersebut antara lain :
1.    Pencabutan hak-hak tertentu.[2]
2.    Penyitaan barang-barang tertentu.[2]
3.    Pengumuman keputusan hakim.[2]

Reverensi
1.     Pengantar Hukum Indonesia, Fully Handayani, S.H, M.kn, Hal. 59-61
2.     Pengantar Ilmu hukum, Subandi AL Marsudi, S.H, M.H, Hal. 146-154

Macam-Macam Pembagian Delik

Dalam hukum pidana dikenal macam-macam pembagian delik ke dalam[5] :

1.    Delik yang dilakukan dengan sengaja, misalnya, sengaja merampas jiwa orang lain (Pasal 338 KUHP) dan delik yang disebabkan karena kurang hati-hati, misalnya, karena kesalahannya telah menimbulkan matinya orang lain dalam lalu lintas di jalan.(Pasal 359 KUHP).
2.    Menjalankan hal-hal yang dilarang oleh Undang-undang, misalnya, melakukan pencurian atau penipuan (Pasal 362 dan378 KUHP) dan tidak menjalankan hal-hal yang seharusnya dilakukan menurut Undang-undang, misalnya tidak melapor adanya komplotan yang merencanakan makar.
3.    Kejahatan (Buku II KUHP), merupakan perbuatan yang sangat tercela, terlepas dari ada atau tidaknya larangan dalam Undang-undang. Karena itu disebut juga sebagai delik hukum.
4.    pelanggaran (Buku III KUHP), merupakan perbuatan yang dianggap salah satu justru karena adanya larangan dalam Undang-undang. Karena itu juga disebut delik Undang-undang.

Reverensi
Pengantar Ilmu hukum, Subandi AL Marsudi, S.H, M.H, Hal. 146-154

Asas-Asas Hukum Pidana

1.    Asas Legalitas, tidak ada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam Peraturan Perundang-Undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu dilakukan (Pasal 1 Ayat (1) KUHP). Jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam Peraturan Perundang-Undangan, maka yang dipakai adalah aturan yang paling ringan sanksinya bagi terdakwa (Pasal 1 Ayat (2) KUHP)

2.    Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan, Untuk menjatuhkan pidana kepada orang yang telah melakukan tindak pidana, harus dilakukan bilamana ada unsur kesalahan pada diri orang tersebut.[4]
3.    Asas teritorial, artinya ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku atas semua peristiwa pidana yang terjadi di daerah yang menjadi wilayah teritorial Negara Kesatuan Republik Indonesia, termasuk pula kapal berbendera Indonesia, pesawat terbang Indonesia, dan gedung kedutaan dan konsul Indonesia di negara asing.
4.    Asas nasionalitas aktif, artinya ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku bagi semua WNI yang melakukan tindak pidana dimana pun ia berada
5.    Asas nasionalitas pasif, artinya ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku bagi semua tindak pidana yang merugikan kepentingan negara

Sumber-Sumber Hukum Pidana

Sumber Hukum Pidana dapat dibedakan atas sumber hukum tertulis dan sumber hukum yang tidak tertulis.[2]Di Indonesia sendiri, kita belum memiliki Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional, sehingga masih diberlakukan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana warisan dari pemerintah kolonial Hindia Belanda.[1] Adapun sistematika Kitab Undang-Undang Hukum Pidana antara lain[2] :

1.    Buku I Tentang Ketentuan Umum (Pasal 1-103).
2.    Buku II Tentang Kejahatan (Pasal 104-488).
3.    Buku III Tentang Pelanggaran (Pasal 489-569).
Dan juga ada beberapa Undang-undang yang mengatur tindak pidana khusus yang dibuat setelah kemerdekaan antara lain[1] :
1.    UU No. 8 Drt Tahun 1955 Tentang tindak Pidana Imigrasi.
2.    UU No. 9 Tahun 1967 Tentang Norkoba.
3.    UU No. 16 Tahun Tahun 2003 Tentang Anti Terorisme.dll
Ketentuan-ketentuan Hukum Pidana, selain termuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana maupun UU Khusus, juga terdapat dalam berbagai Peraturan Perundang-Undangan lainnya, seperti UU. No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU No. 9 Tahun 1999 Tentang Perindungan Konsumen, UU No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta dan sebagainya.

Reverensi
1. Pengantar Ilmu Hukum, Titik Triwulan Tutik, S.H, M.H, Hal. 216-217
2. Pengantar Hukum Indonesia, Fully Handayani, S.H, M.kn, Hal. 59-61

Minggu, 09 Juni 2013

KUHP & RUU KUHP

SOSIO-RELIGIA, Vol. 6 No. 1, November 2006

Selamat Datang KUHP Baru Indonesia!

(Telaah atas RUU KUHP Tahun 2004)

Oleh: Ahmad Bahiej*
Abstrak

     Untuk keempatbelas kalinya sejak tahun 1964, Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disingkat RUU KUHP) dibuat. Yang terakhir untuk saat ini, RUU KUHP tahun 2004 telah digulirkan di lembaga legislatif untuk dibahas. Rancangan ini menggantikan rancangan sebelumnya, yaitu RUU KUHP tahun 1999/2000. Sebagaimana dinyatakan oleh Ketua Tim Perumusnya, Muladi, RUU KUHP tahun 2004 ini lebih maju beberapa langkah daripada rancangan sebelumnya. Ide-ide dasar seperti pemaafan korban, kategorisasi denda, dan alasan penghapus pidana yang tidak ada dalam rancangan sebelumnya dimasukkan dalam RUU KUHP tahun 2004 ini. Artikel ini menelaah RUU KUHP 2004 sekaligus mengkaji tentang ide-ide dasar yang melatarbelakangi prinsip prinsipnya. Untuk mempermudah pemahaman dan pembahasan, analisisnya berangkat dari persoalan pokok dalam hukum pidana, yaitu tindak pidana, pidana, serta pertanggungjawaban pidana. Sebagai tambahannya, akan diuraikan juga titik-titik perbedaannya dengan rancangan sebelumnya (RUU KUHP tahun 1999/2000) serta KUHP (WvS/Wetboek van Strafrecht).

A. Pendahuluan
     Sejarah pembentukan RUU KUHP 2004 tidak dapat dilepaskan dari usaha pembaharuan KUHP secara total. Usaha ini baru dimulai dengan adanya rekomendasi hasil Seminar Hukum Nasional I, pada tanggal 11-16 Maret 1963 di Jakarta yang menyerukan agar rancangan kodifikasi hukum pidana nasional secepat mungkin diselesaikan.1 Kemudian pada tahun 1964 dikeluarkan Rancangan KUHP pertama kali dan berlanjut terus sampai tahun 2004. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa usaha pembaharuan hukum pidana secara universal/gobal/menyeluruh ini masih. Dosen Jurusan Jinayah Siyasah (JS) Fakultas Syari'ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Saat ini sedang menempuh program Doktor Ilmu Hukum di Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta.
1. K. Wantjik Saleh, Seminar Hukum Nasional 1963-1979, (Ghalia Indonesia, 1980), 

     Ahmad Bahiej: Selamat Datang KUHP Baru Indonesia!. SOSIO-RELIGIA, Vol. 6 No. 1, November 2006 Merupakan sebuah usaha yang belum disahkan menjadi sebuah perundang-undangan.
     Usaha pembaharuan hukum pidana secara menyeluruh ini dapat dianggap sebagai pelaksanaan atas amanat pendiri bangsa yang implisit terkandung dalam Pasal II Aturan Peralihan. Jika demikian adanya, maka implementasi cita-cita pendiri bangsa ini baru dapat dimulai setelah 19 tahun Indonesia merdeka. Dapat dimaklumi bahwa usaha menyusun KUHP baru dapat dimulai tahun 1964 ini karena selama kurun waktu 19 tahun (1945-1964), kondisi politik dan ketatanegaraan Indonesia yang belum stabil. Rancangan KUHP tahun 1964 ini kemudian diikuti dengan rancangan-rancangan tahun berikutnya, yaitu Rancangan KUHP 1968, Rancangan KUHP 1971/1972, Rancangan KUHP Basaroedin (Konsep BAS) 1977, Rancangan KUHP 1979, Rancangan KUHP 1982/1983, Rancangan KUHP 1984/1985, Rancangan KUHP 1986/1987, Rancangan KUHP 1987/1988, Rancangan KUHP 1989/1990, Rancangan KUHP 1991/1992 yang direvisi sampai 1997/1998, dan Rancangan KUHP 1999/2000. Sampai saat ini (tahun 2006) Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI telah mengeluarkan RUU KUHP tahun 2004 sebagai revisi RUU KUHP 1999/2000. Dengan demikian dapat dilihat bahwa para pakar hukum di Indonesia paling tidak telah membuat Rancangan KUHP sebanyak 13 kali (termasuk revisinya) selama 40 tahun (sejak tahun 1964 s.d. 2004).
     Sebagaimana konsep pendahulunya, RUU KUHP 2004 merupakan hasil kajian akademis dari tim pakar hukum. Pakar hukum yang tergabung dalam Tim Perumus RUU KUHP Tahun 2004 ini diketuai oleh Muladi, seorang guru besar hukum pidana dan mantan Rektor Universitas Diponegoro Semarang serta mantan Menteri Kehakiman pada masa pemerintahan Habibie. Tim Perumus ini dibawah koordinasi Dirjen Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. 2 RUU KUHP Tahun 2004 diserahkan kepada Departemen Hukum dan HAM pada pertengahan bulan Mei 2005. Dari Departemen Hukum dan HAM, RUU KUHP Tahun 2004 akan diserahkan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan kemudian diserahkan DPR untuk dilakukan pembahasan. Namun menurut Harkristuti Harkrisnowo, RUU KUHP sebaiknya dilakukan pembahasan lagi karena masih mengandung pasal-pasal sensitif, seperti tindak pidana pers, masuknya hukum Islam, hukum adat, dan pornografi. 

     Media Indonesia Online, 17 Mei 2005 diakses 20 Mei 2006. Ahmad Bahiej: Selamat Datang KUHP Baru Indonesia! SOSIO-RELIGIA, Vol. 6 No. 1, November 2006

B. Deskripsi Umum RUU KUHP Tahun 2004 dan Perbandingannya dengan KUHP
Ditinjau dari sistematikanya, RUU KUHP Tahun 2004 memiliki banyak perkembangan yang sangat signifikan dibandingkan dengan KUHP. RUU KUHP Tahun 2004 ini hanya terdiri dari dua buku, yaitu Buku Kesatu tentang Ketentuan Umum yang terdiri dari 6 bab dan 208 pasal (Pasal 1-208)3 dan Buku Kedua tentang Tindak Pidana yang terdiri dari 35 bab dan 519 pasal (Pasal 209-727).4 Dengan demikian, RUU KUHP Tahun 2004 tidak membedakan antara kejahatan dan pelanggaran sebagaimana dalam KUHP (WvS) dan menggantikannya dengan istilah yang lebih umum yaitu tindak pidana.

     Menelaah substansi RUU KUHP Tahun 2004 setidaknya bertitik tolak pada tiga substansi atau masalah pokok dalam hukum pidana, yaitu masalah tindak pidana, masalah kesalahan atau pertanggungjawaban pidana, serta pidana dan pemidanaan. Oleh karena itu, RUU KUHP Tahun 2004 akan ditelaah berdasarkan tiga masalah pokok tersebut di atas.
1. Tindak Pidana
a. Dalam menetapkan sumber hukum atau dasar patut dipidananya perbuatan, pada pokoknya RUU KUHP Tahun 2004 berdasarkan pada sumber hukum tertulis sebagaimana yang dianut dalam KUHP
2. Sebenarnya terdapat dua pasal yang bunyinya sama dalam Buku Kesatu tentang Ketentuan Umum, yaitu Pasal 37 dan 54. Oleh karena itu, jika salah satunya harus dihapuskan maka jumlah pasal dalam Bukum Kesatu adalah 207 pasal. Bunyi lengkap Pasal 37 dan 54 adalah seseorang yang melakukan tindak pidana tidak dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana beredasarkan alasan penghapus pidana jika orang tersebut telah dengan sengaja menyebabkan terjadinya keadaan yang dapat menjadi alasan penghapus pidana tersebut.
3. KUHP (WvS) terdiri dari 3 buku dan 569 pasal, Buku Kesatu tentang Aturan Umum yang terdiri dari 9 bab 103 pasal (Pasal 1-103), Buku Kedua tentang Kejahatan yang terdiri dari 31 bab 385 pasal (Pasal 104 s.d. 488), dan Buku Ketiga tentang Pelanggaran yang terdiri dari 9 bab 81 pasal (Pasal 489-569).
4. Pada awalnya, terdapat dua istilah yang “bersaing” dalam kamus hukum Indonesia untuk menunjuk pada istilah Belanda strafbaar feit. Para pakar hukum pidana Indonesia tidak bersepakat dalam terjemahan kata strafbaar feit tersebut. Moelyatno dan Roeslan Saleh dan murid-muridnya menggunakan kata “perbuatan pidana”, R. Soesilo menggunakan kata “peristiwa pidana”, sedangkan Sudarto dan murid-muridnya menggunakan istilah “tindak pidana”. Dalam perkembangan hukum pidana Indonesia, istilah “tindak pidana” ternyata lebih sering digunakan dalam perundang-undangan. Khusus mengenai pembelaan Moelyatno, baca Kata Pengantar dalam Moelyatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, (tkp: tp., 1978), p. 5-7. Andi Zainal Abidin mengusulkan agar dalam RUU KUHP Tahun 2004 digunakan istilah “perbuatan kriminal” atau “delik” yang berasal dari istilah “criminal act” yang juga berlaku di sejumlah negara. 

     Kompas Online, 24 Maret 2005 diakses tanggal 20 Mei 2006. Ahmad Bahiej: Selamat Datang KUHP Baru Indonesia!... SOSIO-RELIGIA, Vol. 6 No. 1, November 2006 (WvS).
Hal ini dikenal dengan asas legalitas formal (RUU KUHP Tahun 2004 Pasal 1 ayat (1)). Namun tidak seperti KUHP (WvS), RUU KUHP Tahun 2004 memperluas perumusannya secara materiel, yaitu ketentuan Pasal 1 ayat (1) tersebut tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup atau hukum adat yang menentukan bahwa menurut adat setempat seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan (Pasal 1 (3) RUU KUHP Tahun 2004). Hal ini dikenal dengan asas legalitas materiel.6 Dengan aturan itu jelaslah bahwa RUU KUHP Tahun 2004 memberikan tempat bagi hukum adat setempat sebagai sumber keputusan bagi hakim apabila ternyata ada suatu perbuatan yang menurut hukum positif Indonesia belum/tidak diatur sebagai tindak pidana namun menurut masyarakat dianggap sebagai perbuatan yang patut dipidana.
5. Di samping itu, dapat jelaslah bahwa keadilan yang ingin diwujudkan RUU KUHP Tahun 2004 adalah keadilan masyarakat, bukan sekedar keadilan yang didasarkan pada perundang-undangan (legal justice). Hal ini juga disebutkan dalam Pasal 12 RUU KUHP Tahun 2004 bahwa “dalam mempertimbangkan hukum yang akan diterapkan, hakim sejauh mungkin mengutamakan keadilan di atas kepastian hukum”.
6. Untuk memberikan tempat yang luas pada hukum adat, Pasal 93 juga menentukan bahwa pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat dapat menjadi pidana pokok atau yang diutamakan jika tindak pidana yang dilakukan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) ini.
7. Aturan mengenai diberlakukannya asas legalitas materiel di Indonesia bukan merupakan hal yang baru, walaupun KUHP (WvS) hanya mengenal asas legalitas formal. Dalam UU Nomor 1/Drt./1951 dan UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, asas legalitas materiel merupakan hal yang harus dijunjung tinggi oleh hakim dalam memutuskan suatu perkara. Bahkan dalam Pasal 14 ayat (2) UUD Sementara 1950 disebutkan bahwa “tiada sesorang dapat dihukum atau dijatuhi hukuman kecuali karena aturan hukum yang sudah ada dan berlaku terhadapnya.” Kata “hukum” disini jelas mempunyai makna yang luas dari pada sekedar peraturan perundang-undangan.
8. Bagi sebagian orang, masuknya “hukum yang hidup dalam masyarakat” dalam Pasal 1 ayat (3) memunculkan beberapa masalah, yaitu pertama Pasal 1 ayat (3) kontradiksi dengan larangan menggunakan analogi dalam Pasal 1 ayat (2), kedua dapat menimbulkan masalah karena tidak diatur bagaimana cara hakim menemukan hukum dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat (living law), ketiga, living law banyak yang tidak tertulis dan tidak menyebut unsur-unsur pidana secara terperinci, keempat akan mengkriminalisasikan perbuatan yang secara legal formal tidak diatur dalam perundang-undangan, dan kelima ketidakpastian hukum. Schaffmeister, guru besar hukum pidana di Belanda menyebut Pasal 1 ayat (3) sebagai pasal “akrobatik”. Oleh karena itu Andi Hamzah mengusulkan agar RUU KUHP meniru ketentuan Pasal 80 KUHP RRC yang memungkinkan diatur dalam peraturan lokal asalkan mendapat persetujuan DPR. www.hukumonline.com 9 Mei 2005, 23 Agustus 2005, 17 April 2006 diakses tanggal 20 Mei 2006. Ada juga yang mengusulkan agar redaksi dalam Pasal 1 ayat (1) “dalam peraturan perundang

Ahmad Bahiej: Selamat Datang KUHP Baru Indonesia!...
SOSIO-RELIGIA, Vol. 6 No. 1, November 2006

b. Beberapa penyempurnaan juga dilakukan RUU KUHP Tahun 2004 terhadap rumusan asas legalitas, yaitu (1) RUU KUHP Tahun 2004 menggunakan redaksi “tiada seorang pun…kecuali perbuatan yang dilakukan…”. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa RUU KUHP Tahun 2004 bersikap pada pendekatan mono-dualistik dalam arti tetap memperhatikan segi obyektif dari aspek perbuatan seseorang dan segi sobyektif dari aspek orang/pelaku. Pendekatan ini dikenal dengan aliran hukum pidana yang Daad-dader Strafrecht.9 (2) RUU KUHP Tahun 2004 menggunakan redaksi “…yang berlaku pada saat perbuatan dilakukan” untuk memperjelas karena redaksi dalam KUHP yang berbunyi “…yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan…” dipandang belum menunjukkan bahwa perundangundangan
itu telah berlaku. (3) RUU KUHP Tahun 2004 mencantumkan juga redaksi “…perbuatan yang tidak dilakukan…” dengan dasar bahwa tindak pidana ada yang dilakukan dengan cara tidak melakukan (delik commisionis per ommisionen commisa). (4) RUU Tahun 2004 secara tegas menyatakan larangan analogi untuk membuat suatu perbuatan menjadi suatu tindak pidana.
c. Sebagaimana telah disebutkan di atas, RUU KUHP Tahun 2004 tidak lagi membedakan kualifikasi tindak pidana berupa kejahatan dan pelanggaran, namun menyatukannya dengan istilah tindak pidana. Kebijakan untuk menghilangkan pembedaan kejahatan dan pelanggaran ini didasarkan pada beberapa pertimbangan, yaitu (1) pembedaan tindak pidana secara kualitatif berupa kejahatan (rechtdelict) dan pelanggaran (wetdelict) tidak dapat dipertahankan lagi,10 (2) penggolongan dua jenis tindak pidana itu sesuai pada zaman Hindia Belanda memang relevan dengan kompetensi pengadilan waktu itu, undangan…” diganti menjadi “dalam aturan hukum yang berlaku…”. www.fajar.co.id, 28 Desember 2005 diakses 20 Mei 2006.
9. Semula dalam KUHP memakai redaksi “tiada suatu perbuatan…” yang lebih condong ke pandangan Daad Strafrect yaitu aliran hukum pidana yang menekankan pada aspek perbuatan seseorang. 10 KUHP (WvS) membedakan antara kejahatan (rechtdelict) dalam Buku II dengan pelanggaran (wetdelict) dalam Buku III. Pembedaan ini dijelaskan dalam ilmu hukum pidana bahwa kejahatan secara kualitatif terkait dengan keadilan. Artinya, orang akan merasa tidak adil jika terjadi tindak pidana yang masuk dalam kualifikasi kejahatan, walaupun jika undang-undang tidak mengaturnya seperti pencurian, pembunuhan, dsb. Sedangkan pelanggaran tidak terkait dengan keadilan. Artinya, orang dianggap melanggar hukum karena memang undang-undang menganggapnya demikian. Pembedaan secara tajam antara kejahatan dan pelanggaran semacam ini tidak dapat dipertahankan lagi karena di samping batasnya yang tidak jelas, ada beberapa kejahatan dalam Buku II yang tidak terkait dengan keadilan, dan sebaliknya ada pelanggaran dalam Buku II yang justru terkait dengan keadilan.

Ahmad Bahiej: Selamat Datang KUHP Baru Indonesia!...
SOSIO-RELIGIA, Vol. 6 No. 1, November 2006
     yaitu pelanggaran diperiksa oleh Landgerecht (Pengadilan Kepolisian), dan kejahatan diperiksa oleh Landraad dan Raad van Justitie, dan (2) pandangan mutakhir mengenai afkoop (sukarela membayar maksimum pidana denda; Pasal 82 KUHP) sebagai alasan penuntutan tidak hanya berlaku bagi pelanggaran, namun juga termasuk kejahatan walaupun dengan pembatasan ancaman maksimum pidananya. d. Di samping mengganti judul bab, RUU KUHP Tahun 2004 juga mengurangi beberapa bab tindak pidana (kejahatan dan pelanggaran) dalam KUHP seperti perkelahian tanding (Bab VI), dan pengulangan (recidive) dalam Bab XXXI, serta menambah bab baru yaitu Bab VI tentang Tindak Pidana terhadap Penyelenggaraan Pengadilan, Bab VII tentang Tindak Pidana terhadap Agama dan Kehidupan
Beragama, Bab IX tentang Tindak Pidana terhadap Hak Asasi Manusia, dan Bab XXXI tentang Tindak Pidana Korupsi. e. Tindak pidana-tindak pidana yang diatur dalam RUU KUHP Tahun 2004 bersumber dari: (1) penyeleksian Buku II dan Buku III KUHP, (2) hasil pengintegrasian delik-delik di luar KUHP, (3) hasil kajian penelitian, seminar, dan lokakarya, baik nasional maupun internasional.12 Adapun delik-delik baru dalam RUU KUHP Tahun 2004 yang tidak ada dalam KUHP (WvS) antara lain sebagai berikut:
(1). Tindak Pidana terhadap Keamanan Negara seperti penyebaran ajaran komunisme/marxisme13, terorisme, dan sabotase terhadap negara/militer.
(2). Tindak Pidana terhadap Ketertiban Umum seperti santet, penyadapan, delik yang berhubungan dengan senjata api, amunisi atau peledak, dan penyiaran berita bohong.
(3). Tindak Pidana terhadap Penyelenggaraan Pengadilan yang merupakan bab baru dan biasanya dikenal dengan istilah contempt of court (penghinaan terhadap pengadilan), seperti kongkalikong
penasehat hukum dengan lawan yang merugikan klien, menyerang integritas atau tidak memihak dari suatu proses sidang pengadilan, dan sebagainya.

10 Pihak yang tidak setuju adanya larangan marxisme/komunisme, terutama YLBHI, berargumentasi bahwa setelah perang dingin komunisme bukan sesuatu hal yang ditakutkan lagi. Larangan itu tidak mengandung parameter yang jelas.
www.humonline.com, 28 Maret 2003 dan 17 November 2003 diakses tanggal 20 Mei 2006.
Ahmad Bahiej: Selamat Datang KUHP Baru Indonesia!...
SOSIO-RELIGIA, Vol. 6 No. 1, November 2006
(4). Tindak Pidana terhadap Agama dan Kehidupan Beragama seperti perusakan bangunan untuk ibadah, penghasutan untuk meniadakan kepercayaan untuk beragama, dan penghinaan terhadap Tuhan, Rasul, Kitab, dan ajarannya.
(5). Tindak Pidana yang Membahayakan Keamanan Umum bagi Orang, Kesehatan, Barang, dan Lingkungan Hidup seperti pencemaran lingkungan.
(6) Tindak Pidana yang Melanggar Hak Asasi Manusia seperti genocide (pembunuhan massal), tindak pidana kemanusiaan, tindak pidana perang dan konflik bersenjata.
(7). Tindak Pidana Kesusilaan seperti menyebarkan/mempertunjukkan rekaman yang melanggar kesusilaan, persetubuhan laki-laki dan perempuan di luar nikah yang mengganggu perasaan kesusilaan
masyarakat, laki-laki yang menyetubuhi perempuan dengan persetujuannya tetapi karena tipu muslihat atau janji akan dinikahi, kumpul kebo, incest (persetubuhan anggota keluarga
sedarah dalam garis lurus atau ke samping sampai derajat ketiga), bergelandangan di jalan atau tempat umum dengan tujuan melacurkan diri serta perluasan perumusan delik perkosaan.14
(8). Tindak Pidana Penadahan, Penerbitan, dan Percetakan seperti pencucian uang (money laundering) atau pencucian uang hasil kejahatan khususnya narkotika, ekonomi, dan korupsi.
11. Terdapat beberapa kritik dari aktivis perempuan dan pihak lain mengenai tindak pidana kesusilaan ini, yaitu (1) tidak masuknya marital rape (perkosaan dalam keluarga) sebagai tindak pidana dalam RUU KUHP, (2) para penyusun dianggap masih berpaham lama bahwa delik kesusilaan hanya berhubungan dengan sex related. Kekerasan terhadap perempuan seharusnya masuk dalam kekerasan terhadap orang, bukan dalam delik kesusilaan, (3) masih terfokus pada kekerasan fisik, sedangkan kekerasan ekonomi dan psikologis tidak tersentuh, (4) belum mencakup beragam bentuk perkosaan yang terjadi dalam masyarakat, (5) definisi pelecehan seksual dan pencabulan yang tidak jelas, (6) orientasi pengaturan pada hal yang tidak substansial dan terlalu mencampuri urusan pribadi/hubungan personal (7) meneguhkan relasi gender yang tidak setara karena kata akhir tidak diserahkan kepada perempuan sebagai penilik tubuh namun kepada tokoh “bapak” yaitu kepala adat, lurah dst yang dijabat oleh laki-laki, (8) bias kelas dalam karena “bergelandangan dan berkeliaran di jalan atau di tempat umum dengan tukuan melacurkan diri” hanya menjerat pekerja seks, tidak pada germo atau pemakai jasa, (9) membatasi akses perempuan untuk memperoleh informasi seluas-luasnya mengenai fasilitas yang menyangkut hak reproduksi, (10) “persetubuhan” hanya dimaknai penetrasi
kelamin laki-laki kepada perempuan, seharusnya kontak seksual sekecil apapun, (11) ketidakseimbangan pidana bagi zina dan kumpul kebo, (12) keterkaitan pelapor dalam tindak pidana zina dan kumpul kebo. www.hukumonline.com, 17 November 2003, 25
Maret 2005, 24 April 2005, Kompas Online, 10 November 2003, diakses tanggal 20 Mei
2006.
Ahmad Bahiej: Selamat Datang KUHP Baru Indonesia!...
SOSIO-RELIGIA, Vol. 6 No. 1, November 2006
Kesalahan atau Pertanggungjawaban Pidana
a. Asas kesalahan (asas culpabilitas) dalam RUU KUHP Tahun 2004 disebutkan secara eksplisit dalam Pasal 35 ayat (1) sebagaimana asas legalitas. Hal ini merupakan sikap RUU KUHP Tahun 2004 yang
mendasarkan pada keseimbangan mono-dualistik bahwa asas kesalahan yang didasarkan pada nilai “keadilan” harus disejajarkan berpasangan dengan asas legalitas yang didasarkan pada nilai
“kepastian”.15
b. Walaupun RUU KUHP Tahun 2004 berprinsip bahwa pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan, namun dalam beberapa hal tidak menutup kemungkinan adanya pertanggungjawaban yang ketat (strict liability)16 dan pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability).17 Hal ini disebutkan
dalam Pasal 35 ayat (2) dan (3). Pertanggungjawaban ketat dan pengganti ini tidak dikenal dalam KUHP.
c. Masalah kesesatan (error) baik kesesatan mengenai keadaannya (error facti) maupun kesesatan mengenai hukumnya, menurut RUU KUHP Tahun 2004 merupakan salah satu alasan pemaaf sehingga pelaku tidak dipidana kecuali kesesatannya itu patut dipersalahkan kepadanya (Pasal 40). Ini berbeda dengan doktrin kuno dalam hukum pidana, bahwa error facti non nocet, error iuris nocet (sesat mengenai keadannya tidak dipidana, sedangkan sesat mengenai hukumnya tetap dipidana). KUHP tidak menyebutkan kesesatan ini sebagai bagian pasalnya.
d. Mengenai alasan-alasan yang dapat menghapuskan pidana, RUU KUHP Tahun 2004 memisah secara tegas antara alasan pemaaf (Pasal 40-43) yang meliputi sesat, daya paksa, pembelaan terpaksa, dan
perintah jabatan yang tidak sah, serta alasan pembenar (Pasal 30-33) yang meliputi melaksanakan undang-undang, melaksanakan perintah 15 Asas tiada pidana tanpa kesalahan (nulla poena sine culpa) merupakan asas yang sangat urgen dalam hukum pidana. Namun demikian, KUHP (WvS) tidak menyebutnya secara eksplisit asas ini. Pengetahuan tentang asas kesalahan dapat dipahami dalam ilmu
hukum pidana (strafrecht lehre).
12. Walaupun setiap tindak pidana disyaratkan adanya unsur kesalahan, namun dalam kasus-kasus tertentu si pembuat/pelaku tindak pidana sudah dapat dipidana apabila ia telah melakukan perbuatan sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang tanpa melihat bagaimana sikap batinnya. Pertanggungjawaban ketat yang disebut juga dengan liability without fault (pertanggungjawaban tanpa kesalahan) ini telah lama diberlakukan di Inggris dan negara-negara penganut common law yang lain.
13. Vicarious liability sering diartikan pertanggungjawaban menurut hukum seseorang atas perbuatan salah yang dilakukan oleh orang lain (the legal responsibility of one person for the wrongful acts of another). Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994)
Ahmad Bahiej: Selamat Datang KUHP Baru Indonesia!...
SOSIO-RELIGIA, Vol. 6 No. 1, November 2006
    jabatan, keadaan darurat, dan pembelaan yang melampaui batas.Dalam KUHP hanya disebutkan beberapa hal yang dapat menghapuskan pidana, namun tidak mengklasifikasikannya dalam kategori alasan pemaaf dan pembenar. Istilah alasan pemaaf dan pembenar hanya dikenal dalam ilmu hukum pidana.
    RUU KUHP Tahun 2004 menegaskan mengenai pertanggungjawaban anak dalam Pasal 110, yaitu anak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana jika telah mencapai umur 12 tahun.18 Selain itu, pidana dan tindakan bagi anak hanya berlaku bagi orang yang berumur 12-18 tahun yang melakukan tindak pidana. Hal ini berarti pertanggungjawaban pidana anak minimal 12 tahun dan maksimal 18 tahun.19
    RUU KUHP Tahun 2004 telah mengenal pertanggunjawaban
korporasi (Pasal 44).20
 Pidana dan Pemidanaan.
a. RUU KUHP Tahun 2004 menyebutkan tujuan pemidanaan dalam Pasal 50 yaitu untuk (1) mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat; (2)
14 Dalam KUHP, anak di bawah umur bukan merupakan alasan penghapus pidana, namun hanya disebutkan sebagai alasan yang dapat meringankan pidana. Pasal 45 KUHP menyebutkan bahwa jika terdakwa belum umur 16 tahun maka hakim diberikan 3 alternatif, yaitu (1) memerintahkan supaya anak tersebut dikembalikan lagi ke orang tuanya, walinya, atau pemeliharanya, tanpa dijatuhi pidana apapun; (2) memerintahkan supaya anak tersebut diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana apapun; dan (3)
menjatuhkan pidana. Selanjutnya, Pasal 47 KUHP mengatur apabila hakim menjatuhkan pidana kepada anak, maka maksimum pidana pokok terhadap tindak pidananya dikurangi sepertiga. Namun jika perbuatan itu diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup, maka dijatuhkan pidana penjara paling lama 15 tahun.
15. Sebagai pengganti aturan pertanggungjawaban pidana anak, Indonesia mengeluarkan UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak. Menurut UU ini anak yang masih berumur 8 s.d. 12 tahun hanya dapat dikenakan tindakan, dan anak yang berumur 12 s.d. 18 tahun dapat dijatuhi pidana. Sedangkan anak yang belum berumur 8 tahun dianggap belum mampu mempertanggungjawabakn perbuatannya. Dengan demikian, secara otomatis ketentuan pertanggungjawaban pidana anak dalam KUHP tersebut dihapuskan dengan UU Peradilan Anak ini. Undang-undang Peradilan Anak (UU Nomor 3 Tahun 1997), (Jakarta: Sinar Grafika, 2000).

To Be Continue......