Minggu, 09 Juni 2013

KUHP & RUU KUHP

SOSIO-RELIGIA, Vol. 6 No. 1, November 2006

Selamat Datang KUHP Baru Indonesia!

(Telaah atas RUU KUHP Tahun 2004)

Oleh: Ahmad Bahiej*
Abstrak

     Untuk keempatbelas kalinya sejak tahun 1964, Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disingkat RUU KUHP) dibuat. Yang terakhir untuk saat ini, RUU KUHP tahun 2004 telah digulirkan di lembaga legislatif untuk dibahas. Rancangan ini menggantikan rancangan sebelumnya, yaitu RUU KUHP tahun 1999/2000. Sebagaimana dinyatakan oleh Ketua Tim Perumusnya, Muladi, RUU KUHP tahun 2004 ini lebih maju beberapa langkah daripada rancangan sebelumnya. Ide-ide dasar seperti pemaafan korban, kategorisasi denda, dan alasan penghapus pidana yang tidak ada dalam rancangan sebelumnya dimasukkan dalam RUU KUHP tahun 2004 ini. Artikel ini menelaah RUU KUHP 2004 sekaligus mengkaji tentang ide-ide dasar yang melatarbelakangi prinsip prinsipnya. Untuk mempermudah pemahaman dan pembahasan, analisisnya berangkat dari persoalan pokok dalam hukum pidana, yaitu tindak pidana, pidana, serta pertanggungjawaban pidana. Sebagai tambahannya, akan diuraikan juga titik-titik perbedaannya dengan rancangan sebelumnya (RUU KUHP tahun 1999/2000) serta KUHP (WvS/Wetboek van Strafrecht).

A. Pendahuluan
     Sejarah pembentukan RUU KUHP 2004 tidak dapat dilepaskan dari usaha pembaharuan KUHP secara total. Usaha ini baru dimulai dengan adanya rekomendasi hasil Seminar Hukum Nasional I, pada tanggal 11-16 Maret 1963 di Jakarta yang menyerukan agar rancangan kodifikasi hukum pidana nasional secepat mungkin diselesaikan.1 Kemudian pada tahun 1964 dikeluarkan Rancangan KUHP pertama kali dan berlanjut terus sampai tahun 2004. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa usaha pembaharuan hukum pidana secara universal/gobal/menyeluruh ini masih. Dosen Jurusan Jinayah Siyasah (JS) Fakultas Syari'ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Saat ini sedang menempuh program Doktor Ilmu Hukum di Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta.
1. K. Wantjik Saleh, Seminar Hukum Nasional 1963-1979, (Ghalia Indonesia, 1980), 

     Ahmad Bahiej: Selamat Datang KUHP Baru Indonesia!. SOSIO-RELIGIA, Vol. 6 No. 1, November 2006 Merupakan sebuah usaha yang belum disahkan menjadi sebuah perundang-undangan.
     Usaha pembaharuan hukum pidana secara menyeluruh ini dapat dianggap sebagai pelaksanaan atas amanat pendiri bangsa yang implisit terkandung dalam Pasal II Aturan Peralihan. Jika demikian adanya, maka implementasi cita-cita pendiri bangsa ini baru dapat dimulai setelah 19 tahun Indonesia merdeka. Dapat dimaklumi bahwa usaha menyusun KUHP baru dapat dimulai tahun 1964 ini karena selama kurun waktu 19 tahun (1945-1964), kondisi politik dan ketatanegaraan Indonesia yang belum stabil. Rancangan KUHP tahun 1964 ini kemudian diikuti dengan rancangan-rancangan tahun berikutnya, yaitu Rancangan KUHP 1968, Rancangan KUHP 1971/1972, Rancangan KUHP Basaroedin (Konsep BAS) 1977, Rancangan KUHP 1979, Rancangan KUHP 1982/1983, Rancangan KUHP 1984/1985, Rancangan KUHP 1986/1987, Rancangan KUHP 1987/1988, Rancangan KUHP 1989/1990, Rancangan KUHP 1991/1992 yang direvisi sampai 1997/1998, dan Rancangan KUHP 1999/2000. Sampai saat ini (tahun 2006) Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI telah mengeluarkan RUU KUHP tahun 2004 sebagai revisi RUU KUHP 1999/2000. Dengan demikian dapat dilihat bahwa para pakar hukum di Indonesia paling tidak telah membuat Rancangan KUHP sebanyak 13 kali (termasuk revisinya) selama 40 tahun (sejak tahun 1964 s.d. 2004).
     Sebagaimana konsep pendahulunya, RUU KUHP 2004 merupakan hasil kajian akademis dari tim pakar hukum. Pakar hukum yang tergabung dalam Tim Perumus RUU KUHP Tahun 2004 ini diketuai oleh Muladi, seorang guru besar hukum pidana dan mantan Rektor Universitas Diponegoro Semarang serta mantan Menteri Kehakiman pada masa pemerintahan Habibie. Tim Perumus ini dibawah koordinasi Dirjen Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. 2 RUU KUHP Tahun 2004 diserahkan kepada Departemen Hukum dan HAM pada pertengahan bulan Mei 2005. Dari Departemen Hukum dan HAM, RUU KUHP Tahun 2004 akan diserahkan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan kemudian diserahkan DPR untuk dilakukan pembahasan. Namun menurut Harkristuti Harkrisnowo, RUU KUHP sebaiknya dilakukan pembahasan lagi karena masih mengandung pasal-pasal sensitif, seperti tindak pidana pers, masuknya hukum Islam, hukum adat, dan pornografi. 

     Media Indonesia Online, 17 Mei 2005 diakses 20 Mei 2006. Ahmad Bahiej: Selamat Datang KUHP Baru Indonesia! SOSIO-RELIGIA, Vol. 6 No. 1, November 2006

B. Deskripsi Umum RUU KUHP Tahun 2004 dan Perbandingannya dengan KUHP
Ditinjau dari sistematikanya, RUU KUHP Tahun 2004 memiliki banyak perkembangan yang sangat signifikan dibandingkan dengan KUHP. RUU KUHP Tahun 2004 ini hanya terdiri dari dua buku, yaitu Buku Kesatu tentang Ketentuan Umum yang terdiri dari 6 bab dan 208 pasal (Pasal 1-208)3 dan Buku Kedua tentang Tindak Pidana yang terdiri dari 35 bab dan 519 pasal (Pasal 209-727).4 Dengan demikian, RUU KUHP Tahun 2004 tidak membedakan antara kejahatan dan pelanggaran sebagaimana dalam KUHP (WvS) dan menggantikannya dengan istilah yang lebih umum yaitu tindak pidana.

     Menelaah substansi RUU KUHP Tahun 2004 setidaknya bertitik tolak pada tiga substansi atau masalah pokok dalam hukum pidana, yaitu masalah tindak pidana, masalah kesalahan atau pertanggungjawaban pidana, serta pidana dan pemidanaan. Oleh karena itu, RUU KUHP Tahun 2004 akan ditelaah berdasarkan tiga masalah pokok tersebut di atas.
1. Tindak Pidana
a. Dalam menetapkan sumber hukum atau dasar patut dipidananya perbuatan, pada pokoknya RUU KUHP Tahun 2004 berdasarkan pada sumber hukum tertulis sebagaimana yang dianut dalam KUHP
2. Sebenarnya terdapat dua pasal yang bunyinya sama dalam Buku Kesatu tentang Ketentuan Umum, yaitu Pasal 37 dan 54. Oleh karena itu, jika salah satunya harus dihapuskan maka jumlah pasal dalam Bukum Kesatu adalah 207 pasal. Bunyi lengkap Pasal 37 dan 54 adalah seseorang yang melakukan tindak pidana tidak dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana beredasarkan alasan penghapus pidana jika orang tersebut telah dengan sengaja menyebabkan terjadinya keadaan yang dapat menjadi alasan penghapus pidana tersebut.
3. KUHP (WvS) terdiri dari 3 buku dan 569 pasal, Buku Kesatu tentang Aturan Umum yang terdiri dari 9 bab 103 pasal (Pasal 1-103), Buku Kedua tentang Kejahatan yang terdiri dari 31 bab 385 pasal (Pasal 104 s.d. 488), dan Buku Ketiga tentang Pelanggaran yang terdiri dari 9 bab 81 pasal (Pasal 489-569).
4. Pada awalnya, terdapat dua istilah yang “bersaing” dalam kamus hukum Indonesia untuk menunjuk pada istilah Belanda strafbaar feit. Para pakar hukum pidana Indonesia tidak bersepakat dalam terjemahan kata strafbaar feit tersebut. Moelyatno dan Roeslan Saleh dan murid-muridnya menggunakan kata “perbuatan pidana”, R. Soesilo menggunakan kata “peristiwa pidana”, sedangkan Sudarto dan murid-muridnya menggunakan istilah “tindak pidana”. Dalam perkembangan hukum pidana Indonesia, istilah “tindak pidana” ternyata lebih sering digunakan dalam perundang-undangan. Khusus mengenai pembelaan Moelyatno, baca Kata Pengantar dalam Moelyatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, (tkp: tp., 1978), p. 5-7. Andi Zainal Abidin mengusulkan agar dalam RUU KUHP Tahun 2004 digunakan istilah “perbuatan kriminal” atau “delik” yang berasal dari istilah “criminal act” yang juga berlaku di sejumlah negara. 

     Kompas Online, 24 Maret 2005 diakses tanggal 20 Mei 2006. Ahmad Bahiej: Selamat Datang KUHP Baru Indonesia!... SOSIO-RELIGIA, Vol. 6 No. 1, November 2006 (WvS).
Hal ini dikenal dengan asas legalitas formal (RUU KUHP Tahun 2004 Pasal 1 ayat (1)). Namun tidak seperti KUHP (WvS), RUU KUHP Tahun 2004 memperluas perumusannya secara materiel, yaitu ketentuan Pasal 1 ayat (1) tersebut tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup atau hukum adat yang menentukan bahwa menurut adat setempat seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan (Pasal 1 (3) RUU KUHP Tahun 2004). Hal ini dikenal dengan asas legalitas materiel.6 Dengan aturan itu jelaslah bahwa RUU KUHP Tahun 2004 memberikan tempat bagi hukum adat setempat sebagai sumber keputusan bagi hakim apabila ternyata ada suatu perbuatan yang menurut hukum positif Indonesia belum/tidak diatur sebagai tindak pidana namun menurut masyarakat dianggap sebagai perbuatan yang patut dipidana.
5. Di samping itu, dapat jelaslah bahwa keadilan yang ingin diwujudkan RUU KUHP Tahun 2004 adalah keadilan masyarakat, bukan sekedar keadilan yang didasarkan pada perundang-undangan (legal justice). Hal ini juga disebutkan dalam Pasal 12 RUU KUHP Tahun 2004 bahwa “dalam mempertimbangkan hukum yang akan diterapkan, hakim sejauh mungkin mengutamakan keadilan di atas kepastian hukum”.
6. Untuk memberikan tempat yang luas pada hukum adat, Pasal 93 juga menentukan bahwa pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat dapat menjadi pidana pokok atau yang diutamakan jika tindak pidana yang dilakukan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) ini.
7. Aturan mengenai diberlakukannya asas legalitas materiel di Indonesia bukan merupakan hal yang baru, walaupun KUHP (WvS) hanya mengenal asas legalitas formal. Dalam UU Nomor 1/Drt./1951 dan UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, asas legalitas materiel merupakan hal yang harus dijunjung tinggi oleh hakim dalam memutuskan suatu perkara. Bahkan dalam Pasal 14 ayat (2) UUD Sementara 1950 disebutkan bahwa “tiada sesorang dapat dihukum atau dijatuhi hukuman kecuali karena aturan hukum yang sudah ada dan berlaku terhadapnya.” Kata “hukum” disini jelas mempunyai makna yang luas dari pada sekedar peraturan perundang-undangan.
8. Bagi sebagian orang, masuknya “hukum yang hidup dalam masyarakat” dalam Pasal 1 ayat (3) memunculkan beberapa masalah, yaitu pertama Pasal 1 ayat (3) kontradiksi dengan larangan menggunakan analogi dalam Pasal 1 ayat (2), kedua dapat menimbulkan masalah karena tidak diatur bagaimana cara hakim menemukan hukum dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat (living law), ketiga, living law banyak yang tidak tertulis dan tidak menyebut unsur-unsur pidana secara terperinci, keempat akan mengkriminalisasikan perbuatan yang secara legal formal tidak diatur dalam perundang-undangan, dan kelima ketidakpastian hukum. Schaffmeister, guru besar hukum pidana di Belanda menyebut Pasal 1 ayat (3) sebagai pasal “akrobatik”. Oleh karena itu Andi Hamzah mengusulkan agar RUU KUHP meniru ketentuan Pasal 80 KUHP RRC yang memungkinkan diatur dalam peraturan lokal asalkan mendapat persetujuan DPR. www.hukumonline.com 9 Mei 2005, 23 Agustus 2005, 17 April 2006 diakses tanggal 20 Mei 2006. Ada juga yang mengusulkan agar redaksi dalam Pasal 1 ayat (1) “dalam peraturan perundang

Ahmad Bahiej: Selamat Datang KUHP Baru Indonesia!...
SOSIO-RELIGIA, Vol. 6 No. 1, November 2006

b. Beberapa penyempurnaan juga dilakukan RUU KUHP Tahun 2004 terhadap rumusan asas legalitas, yaitu (1) RUU KUHP Tahun 2004 menggunakan redaksi “tiada seorang pun…kecuali perbuatan yang dilakukan…”. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa RUU KUHP Tahun 2004 bersikap pada pendekatan mono-dualistik dalam arti tetap memperhatikan segi obyektif dari aspek perbuatan seseorang dan segi sobyektif dari aspek orang/pelaku. Pendekatan ini dikenal dengan aliran hukum pidana yang Daad-dader Strafrecht.9 (2) RUU KUHP Tahun 2004 menggunakan redaksi “…yang berlaku pada saat perbuatan dilakukan” untuk memperjelas karena redaksi dalam KUHP yang berbunyi “…yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan…” dipandang belum menunjukkan bahwa perundangundangan
itu telah berlaku. (3) RUU KUHP Tahun 2004 mencantumkan juga redaksi “…perbuatan yang tidak dilakukan…” dengan dasar bahwa tindak pidana ada yang dilakukan dengan cara tidak melakukan (delik commisionis per ommisionen commisa). (4) RUU Tahun 2004 secara tegas menyatakan larangan analogi untuk membuat suatu perbuatan menjadi suatu tindak pidana.
c. Sebagaimana telah disebutkan di atas, RUU KUHP Tahun 2004 tidak lagi membedakan kualifikasi tindak pidana berupa kejahatan dan pelanggaran, namun menyatukannya dengan istilah tindak pidana. Kebijakan untuk menghilangkan pembedaan kejahatan dan pelanggaran ini didasarkan pada beberapa pertimbangan, yaitu (1) pembedaan tindak pidana secara kualitatif berupa kejahatan (rechtdelict) dan pelanggaran (wetdelict) tidak dapat dipertahankan lagi,10 (2) penggolongan dua jenis tindak pidana itu sesuai pada zaman Hindia Belanda memang relevan dengan kompetensi pengadilan waktu itu, undangan…” diganti menjadi “dalam aturan hukum yang berlaku…”. www.fajar.co.id, 28 Desember 2005 diakses 20 Mei 2006.
9. Semula dalam KUHP memakai redaksi “tiada suatu perbuatan…” yang lebih condong ke pandangan Daad Strafrect yaitu aliran hukum pidana yang menekankan pada aspek perbuatan seseorang. 10 KUHP (WvS) membedakan antara kejahatan (rechtdelict) dalam Buku II dengan pelanggaran (wetdelict) dalam Buku III. Pembedaan ini dijelaskan dalam ilmu hukum pidana bahwa kejahatan secara kualitatif terkait dengan keadilan. Artinya, orang akan merasa tidak adil jika terjadi tindak pidana yang masuk dalam kualifikasi kejahatan, walaupun jika undang-undang tidak mengaturnya seperti pencurian, pembunuhan, dsb. Sedangkan pelanggaran tidak terkait dengan keadilan. Artinya, orang dianggap melanggar hukum karena memang undang-undang menganggapnya demikian. Pembedaan secara tajam antara kejahatan dan pelanggaran semacam ini tidak dapat dipertahankan lagi karena di samping batasnya yang tidak jelas, ada beberapa kejahatan dalam Buku II yang tidak terkait dengan keadilan, dan sebaliknya ada pelanggaran dalam Buku II yang justru terkait dengan keadilan.

Ahmad Bahiej: Selamat Datang KUHP Baru Indonesia!...
SOSIO-RELIGIA, Vol. 6 No. 1, November 2006
     yaitu pelanggaran diperiksa oleh Landgerecht (Pengadilan Kepolisian), dan kejahatan diperiksa oleh Landraad dan Raad van Justitie, dan (2) pandangan mutakhir mengenai afkoop (sukarela membayar maksimum pidana denda; Pasal 82 KUHP) sebagai alasan penuntutan tidak hanya berlaku bagi pelanggaran, namun juga termasuk kejahatan walaupun dengan pembatasan ancaman maksimum pidananya. d. Di samping mengganti judul bab, RUU KUHP Tahun 2004 juga mengurangi beberapa bab tindak pidana (kejahatan dan pelanggaran) dalam KUHP seperti perkelahian tanding (Bab VI), dan pengulangan (recidive) dalam Bab XXXI, serta menambah bab baru yaitu Bab VI tentang Tindak Pidana terhadap Penyelenggaraan Pengadilan, Bab VII tentang Tindak Pidana terhadap Agama dan Kehidupan
Beragama, Bab IX tentang Tindak Pidana terhadap Hak Asasi Manusia, dan Bab XXXI tentang Tindak Pidana Korupsi. e. Tindak pidana-tindak pidana yang diatur dalam RUU KUHP Tahun 2004 bersumber dari: (1) penyeleksian Buku II dan Buku III KUHP, (2) hasil pengintegrasian delik-delik di luar KUHP, (3) hasil kajian penelitian, seminar, dan lokakarya, baik nasional maupun internasional.12 Adapun delik-delik baru dalam RUU KUHP Tahun 2004 yang tidak ada dalam KUHP (WvS) antara lain sebagai berikut:
(1). Tindak Pidana terhadap Keamanan Negara seperti penyebaran ajaran komunisme/marxisme13, terorisme, dan sabotase terhadap negara/militer.
(2). Tindak Pidana terhadap Ketertiban Umum seperti santet, penyadapan, delik yang berhubungan dengan senjata api, amunisi atau peledak, dan penyiaran berita bohong.
(3). Tindak Pidana terhadap Penyelenggaraan Pengadilan yang merupakan bab baru dan biasanya dikenal dengan istilah contempt of court (penghinaan terhadap pengadilan), seperti kongkalikong
penasehat hukum dengan lawan yang merugikan klien, menyerang integritas atau tidak memihak dari suatu proses sidang pengadilan, dan sebagainya.

10 Pihak yang tidak setuju adanya larangan marxisme/komunisme, terutama YLBHI, berargumentasi bahwa setelah perang dingin komunisme bukan sesuatu hal yang ditakutkan lagi. Larangan itu tidak mengandung parameter yang jelas.
www.humonline.com, 28 Maret 2003 dan 17 November 2003 diakses tanggal 20 Mei 2006.
Ahmad Bahiej: Selamat Datang KUHP Baru Indonesia!...
SOSIO-RELIGIA, Vol. 6 No. 1, November 2006
(4). Tindak Pidana terhadap Agama dan Kehidupan Beragama seperti perusakan bangunan untuk ibadah, penghasutan untuk meniadakan kepercayaan untuk beragama, dan penghinaan terhadap Tuhan, Rasul, Kitab, dan ajarannya.
(5). Tindak Pidana yang Membahayakan Keamanan Umum bagi Orang, Kesehatan, Barang, dan Lingkungan Hidup seperti pencemaran lingkungan.
(6) Tindak Pidana yang Melanggar Hak Asasi Manusia seperti genocide (pembunuhan massal), tindak pidana kemanusiaan, tindak pidana perang dan konflik bersenjata.
(7). Tindak Pidana Kesusilaan seperti menyebarkan/mempertunjukkan rekaman yang melanggar kesusilaan, persetubuhan laki-laki dan perempuan di luar nikah yang mengganggu perasaan kesusilaan
masyarakat, laki-laki yang menyetubuhi perempuan dengan persetujuannya tetapi karena tipu muslihat atau janji akan dinikahi, kumpul kebo, incest (persetubuhan anggota keluarga
sedarah dalam garis lurus atau ke samping sampai derajat ketiga), bergelandangan di jalan atau tempat umum dengan tujuan melacurkan diri serta perluasan perumusan delik perkosaan.14
(8). Tindak Pidana Penadahan, Penerbitan, dan Percetakan seperti pencucian uang (money laundering) atau pencucian uang hasil kejahatan khususnya narkotika, ekonomi, dan korupsi.
11. Terdapat beberapa kritik dari aktivis perempuan dan pihak lain mengenai tindak pidana kesusilaan ini, yaitu (1) tidak masuknya marital rape (perkosaan dalam keluarga) sebagai tindak pidana dalam RUU KUHP, (2) para penyusun dianggap masih berpaham lama bahwa delik kesusilaan hanya berhubungan dengan sex related. Kekerasan terhadap perempuan seharusnya masuk dalam kekerasan terhadap orang, bukan dalam delik kesusilaan, (3) masih terfokus pada kekerasan fisik, sedangkan kekerasan ekonomi dan psikologis tidak tersentuh, (4) belum mencakup beragam bentuk perkosaan yang terjadi dalam masyarakat, (5) definisi pelecehan seksual dan pencabulan yang tidak jelas, (6) orientasi pengaturan pada hal yang tidak substansial dan terlalu mencampuri urusan pribadi/hubungan personal (7) meneguhkan relasi gender yang tidak setara karena kata akhir tidak diserahkan kepada perempuan sebagai penilik tubuh namun kepada tokoh “bapak” yaitu kepala adat, lurah dst yang dijabat oleh laki-laki, (8) bias kelas dalam karena “bergelandangan dan berkeliaran di jalan atau di tempat umum dengan tukuan melacurkan diri” hanya menjerat pekerja seks, tidak pada germo atau pemakai jasa, (9) membatasi akses perempuan untuk memperoleh informasi seluas-luasnya mengenai fasilitas yang menyangkut hak reproduksi, (10) “persetubuhan” hanya dimaknai penetrasi
kelamin laki-laki kepada perempuan, seharusnya kontak seksual sekecil apapun, (11) ketidakseimbangan pidana bagi zina dan kumpul kebo, (12) keterkaitan pelapor dalam tindak pidana zina dan kumpul kebo. www.hukumonline.com, 17 November 2003, 25
Maret 2005, 24 April 2005, Kompas Online, 10 November 2003, diakses tanggal 20 Mei
2006.
Ahmad Bahiej: Selamat Datang KUHP Baru Indonesia!...
SOSIO-RELIGIA, Vol. 6 No. 1, November 2006
Kesalahan atau Pertanggungjawaban Pidana
a. Asas kesalahan (asas culpabilitas) dalam RUU KUHP Tahun 2004 disebutkan secara eksplisit dalam Pasal 35 ayat (1) sebagaimana asas legalitas. Hal ini merupakan sikap RUU KUHP Tahun 2004 yang
mendasarkan pada keseimbangan mono-dualistik bahwa asas kesalahan yang didasarkan pada nilai “keadilan” harus disejajarkan berpasangan dengan asas legalitas yang didasarkan pada nilai
“kepastian”.15
b. Walaupun RUU KUHP Tahun 2004 berprinsip bahwa pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan, namun dalam beberapa hal tidak menutup kemungkinan adanya pertanggungjawaban yang ketat (strict liability)16 dan pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability).17 Hal ini disebutkan
dalam Pasal 35 ayat (2) dan (3). Pertanggungjawaban ketat dan pengganti ini tidak dikenal dalam KUHP.
c. Masalah kesesatan (error) baik kesesatan mengenai keadaannya (error facti) maupun kesesatan mengenai hukumnya, menurut RUU KUHP Tahun 2004 merupakan salah satu alasan pemaaf sehingga pelaku tidak dipidana kecuali kesesatannya itu patut dipersalahkan kepadanya (Pasal 40). Ini berbeda dengan doktrin kuno dalam hukum pidana, bahwa error facti non nocet, error iuris nocet (sesat mengenai keadannya tidak dipidana, sedangkan sesat mengenai hukumnya tetap dipidana). KUHP tidak menyebutkan kesesatan ini sebagai bagian pasalnya.
d. Mengenai alasan-alasan yang dapat menghapuskan pidana, RUU KUHP Tahun 2004 memisah secara tegas antara alasan pemaaf (Pasal 40-43) yang meliputi sesat, daya paksa, pembelaan terpaksa, dan
perintah jabatan yang tidak sah, serta alasan pembenar (Pasal 30-33) yang meliputi melaksanakan undang-undang, melaksanakan perintah 15 Asas tiada pidana tanpa kesalahan (nulla poena sine culpa) merupakan asas yang sangat urgen dalam hukum pidana. Namun demikian, KUHP (WvS) tidak menyebutnya secara eksplisit asas ini. Pengetahuan tentang asas kesalahan dapat dipahami dalam ilmu
hukum pidana (strafrecht lehre).
12. Walaupun setiap tindak pidana disyaratkan adanya unsur kesalahan, namun dalam kasus-kasus tertentu si pembuat/pelaku tindak pidana sudah dapat dipidana apabila ia telah melakukan perbuatan sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang tanpa melihat bagaimana sikap batinnya. Pertanggungjawaban ketat yang disebut juga dengan liability without fault (pertanggungjawaban tanpa kesalahan) ini telah lama diberlakukan di Inggris dan negara-negara penganut common law yang lain.
13. Vicarious liability sering diartikan pertanggungjawaban menurut hukum seseorang atas perbuatan salah yang dilakukan oleh orang lain (the legal responsibility of one person for the wrongful acts of another). Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994)
Ahmad Bahiej: Selamat Datang KUHP Baru Indonesia!...
SOSIO-RELIGIA, Vol. 6 No. 1, November 2006
    jabatan, keadaan darurat, dan pembelaan yang melampaui batas.Dalam KUHP hanya disebutkan beberapa hal yang dapat menghapuskan pidana, namun tidak mengklasifikasikannya dalam kategori alasan pemaaf dan pembenar. Istilah alasan pemaaf dan pembenar hanya dikenal dalam ilmu hukum pidana.
    RUU KUHP Tahun 2004 menegaskan mengenai pertanggungjawaban anak dalam Pasal 110, yaitu anak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana jika telah mencapai umur 12 tahun.18 Selain itu, pidana dan tindakan bagi anak hanya berlaku bagi orang yang berumur 12-18 tahun yang melakukan tindak pidana. Hal ini berarti pertanggungjawaban pidana anak minimal 12 tahun dan maksimal 18 tahun.19
    RUU KUHP Tahun 2004 telah mengenal pertanggunjawaban
korporasi (Pasal 44).20
 Pidana dan Pemidanaan.
a. RUU KUHP Tahun 2004 menyebutkan tujuan pemidanaan dalam Pasal 50 yaitu untuk (1) mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat; (2)
14 Dalam KUHP, anak di bawah umur bukan merupakan alasan penghapus pidana, namun hanya disebutkan sebagai alasan yang dapat meringankan pidana. Pasal 45 KUHP menyebutkan bahwa jika terdakwa belum umur 16 tahun maka hakim diberikan 3 alternatif, yaitu (1) memerintahkan supaya anak tersebut dikembalikan lagi ke orang tuanya, walinya, atau pemeliharanya, tanpa dijatuhi pidana apapun; (2) memerintahkan supaya anak tersebut diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana apapun; dan (3)
menjatuhkan pidana. Selanjutnya, Pasal 47 KUHP mengatur apabila hakim menjatuhkan pidana kepada anak, maka maksimum pidana pokok terhadap tindak pidananya dikurangi sepertiga. Namun jika perbuatan itu diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup, maka dijatuhkan pidana penjara paling lama 15 tahun.
15. Sebagai pengganti aturan pertanggungjawaban pidana anak, Indonesia mengeluarkan UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak. Menurut UU ini anak yang masih berumur 8 s.d. 12 tahun hanya dapat dikenakan tindakan, dan anak yang berumur 12 s.d. 18 tahun dapat dijatuhi pidana. Sedangkan anak yang belum berumur 8 tahun dianggap belum mampu mempertanggungjawabakn perbuatannya. Dengan demikian, secara otomatis ketentuan pertanggungjawaban pidana anak dalam KUHP tersebut dihapuskan dengan UU Peradilan Anak ini. Undang-undang Peradilan Anak (UU Nomor 3 Tahun 1997), (Jakarta: Sinar Grafika, 2000).

To Be Continue......


0 komentar:

Posting Komentar