Kamis, 05 September 2013
PERAMPOKAN MENURUT IMAM HANAFI
09.09
No comments
A. PENGERTIAN HIRABAH
Hirabah
adalah pembegalan (qat’u at-tariq)
atau pencurian besar. Menamakan pencurian dengan pembegalan adalah bentuk
majas, bukan hakikat, karna pencurian adalah pengambilan harta secara
sembunyi-sembunyi, sedangkan pembegalan adalah pengambilan harta secara
terang-terangan. Akan tetapi, dalam pembegalan terdapat bentuk
sembunyi-sembunyi, yaitu sembunyinya pelaku dari imam (Pengiasa atau kepala
Negara) dan orang yang memwakilinya dalam keamanan. Karenanya, pencurian tidak
dinamakan pembegalan kecuali ia memenuhi beberapa ketentuan yang membuatnya di
anggap sebagai pencurian besar. Jika dinamakan pencurian saja, ungkapan
tersebut tidak akan dipahami sbagai pembegalan. adanya beberapa ketentuan ini
adalah tanda-tanda majas.
B.
Antara
Pencurian (Sariqah) Dan
Perampokan/Gangguan Keamanan (Hirabah)
Walaupun tindak pidana dinamakan pencurian besar (sariqah qubra), ia tidak benar-benar
mirip dengan pencurian. Pencurian adalah pengambilan harta secara
sembunyi-sembunyisedangkan hirabah adalah keluar (rumah) untuk mengambil harta
dengan cara paksa. Unsure pencurian yang paling besar adalah mengambil harta
saja, sedangkan unsur haribah adalah
keluar untuk mengambil harta, baik pelaku mengambil harta maupun tidak.
Seseorang dikatakan pencuri jika ia mengambil harta secara sembunyi-sembunyi,
dan dikatakan muharib (perampok/pengganggu
keamanan) jika ia berada dalam beberapa kondisi. Yaitu:
·
Jika ia keluar untuk
mengambil harta dengan cara kekerasan lalu menakut-nakuti orang yang berjalan,
tetapi ia tidak mengambil harta dan membunuh orang.
·
Jika ia keluar untuk
mengambil harta dengan cara kekerasan lalu mengambil harta, tetapi tidak
membunuh.
·
Jika ia keluar untuk
mengambil harta dengan cara kekerasan lalu membunuh, tetapi tidak mengambil
harta.
·
Jika ia keluar untuk
mengambil harta dengan cara kekerasan lalu mengambil harta dan membunuh.
Selama seseorang keluar dengan niat ingin mengambil
harta menggunakan kekerasan dan ia berada dalam salah satu dari empat kondisi ini maka ia dianggap muharib (perampok/pengganggu keamanan).
Imam Abu
Hanifah , Ahmad bin Hanbal, dan Ulama Syi’ah Zaidiah mendefinisikan haribah sebagai keluarnya seseorang
untuk mengambil harta dengan cara kekerasan jika keluarnya menimbulkan
ketakutan pengguna jala, mengambil harta atau membunuh seseorang. Hirabah menurut sebagian ulama adalah
upaya menakut-nakuti orang di jalan untuk mengambil hartanya. Firman Allah SWT
dalam QS Al-Ma’idah ayat 33 :
“hukuman bagi orang-orang yang memerangi
Allah dan Rasull-Nya dan membuat kerusakan di bumi, hanyalah dibunuh atau
disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka secara silang, atau diasingkan
dari tempat kediamannya. Yang demikian itu kehinaan bagi mereka di dunia, dan
di akhirat mereka mendapat azab yang besar”. (QS Al-Ma’idah : 33)
C.
PELAKU
HIRABAH
Hirabah dapat dilakukan oleh sekelompok orang atau
perorangan yang mampu melakukannya. Imam abu Hanifah dan Ahmad mensyaratkan
pelaku membawa senjata atau barang yang sejenis dengannya, seperti tongkat,
batu, dan balok kayu.
Muharib adalah
setiap pelaku langsung atau pelaku tidak langsung tindak pidana haribah. Barangsiapa mengambil harta,
membunuh, atau menakut-menakuti orang, ia adalah muharib. Barangsiapa membantu
tindak pidana hirabah, baik dengan
member dorongan, membuat kesepakatan atau membantu, ia adalah muharib. Jika
seseorang hadir di tempat kejadian itu alalu
diserahi tugas menjaga atau melindungi, ia di anggap muharib walaupun ia tidak
melakukan tindak pidana hirabah secara
langsung. Seseorang dianggap membantu tindak pidana hirabah jika ia mengawasi dan memberi dukungan, yaitu member tempat
perlindungan kepada para muharib
ketika mereka melarikan diri atau mengulurkan bantuan ketika para muharib memerlukannya. Menurut
imam Maliki, Abu Hanifah, Ahmad bin Hanbal dan ulama zahiriyah semuanya adalah Muharib. Berbeda halnya dengan imam
asy-Syafi’I yang tidak mencap muharib kecuali
orang yang melakukan tindak pidana haribah secara langsung.
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, Imam Malik,
Abu Hanifah, Ahmad bin Hanbal, dan ulama zahiriyahmenyatakan bahwa jika
sekelompok orang membegal lalu sebagian dari mereka mengambil harta, sebagian
lagi membunuh beberapa orang dan sisanya tidak berbuat apa-apa, semuanya harus
bertanggungjawab atas pengambilan harta dan pembunuhan, sedangkan imam
asyk-syafi’I sebaliknya dengan artian hanya dikenakan takzir bagi yang tidak
membunuh dan mengambil harta pada saat tindak pidana itu terjadi.
Menurut Abu
hanifah Muharib disyaratkan Mukalaf, dan terikat
dengan hukum islam. Sedangkan anak belum dewasa atau orang gila tidak dikenakan
hukuman ataupun denda.
D. Tempat
Pemotongan
Agar pelaku hirabah dijatuhi hukuman hudud, imam Abu
Hanifah mensyaratkan hirabah terjadi
dinegara islam. Jika hirabah terjadi dinegara non-islam, hukuman hudud tidak di
wajibkan karena yang melaksanakan hukuman hudud yaitu penguasa.
Imam abu Hanifah mensyaratkan hirabah tidak terjadi
di dalam kota atau jauh dari pemukiman. Jika terjadi di kota, tidak ada hukuman
hudud atas pelaku, baik hirabah terjadi di waktu siang maupun di waktu malam
hari, baik bersenjata maupun tidak.
E. Korban
hirabah (Perampokan atau Gangguan keamanan)
Korban hirabah disyaratkan orang yang maksum
(mendapat jaminan keamanan). Seseorang di anggap maksum jika ia seorang muslim
atau seorang kafir zimi. Jika ia korban seorang kafir harbi atau pemberontak,
tidak ada ismah (jaminan keamanan)
baginya. Jikaia seorang kafir harbi mendapat jaminan keamanan (musta’man), berarti ia maksum. Meskipun
demikian para ulama berbeda pendapat tentang hukuman hudud dalam masalah tindak
pidana hirabah yang terjadi atas kafir musta’man. Perbedaan pendapat ini telah
dijelaskan dalam pembahasaan tentang tindak pidana pencurian.
Korban
hirabah berhak membunuh muharib dan membela jiwa dan hartanya.korban hirabah
disunahkan untuk memberikan nasihat kepada muharibagar membatalkan tindak
pidananya. Jika sudah tidak ada kesempatan, korban harus segera melakukan
tindakan untuk membela diri semampunya yaitu tindakan yang menurutnya bisa
membuat terhindar dari tindak pidana. Jika si korban bisa membela diri dengan
perkataan dan tekanan, ia tidak perlu memukulnya. Jika ia bisa membela diri
dengan memukulnya, ia tidak boleh membunuhnya. Jika ia tdak mungkin membela
diri kecuali dengan membunuh atau khawatir dibunuh lebih dahulu, atau pelaku tidak
memberikan kesempatan membela, korban berhak memukul pelaku dengan sesuatu yang
mematikan.
F. Bukti-bukti
tindak pidana hirabah
Tindak pidana hirabah bisa di buktikan berdsarkan
saksi dan pengakuan pelaku. Saksi tindak pidana ini cukup dua orang. Kedua
saksi boleh bersal dari rombongan yang menyerang muharib atau dari rombongan korban hirabah, tetapi mereka boleh bersaksi bagi orang lain, tidak bagi
diri sendiri.
G. Hukuman
atas tindak pidana
Menurut Imam Abu Hanifah, asy-syafi’I, Ahmad Bin
Hanbal, dan Ulama syi’ah Zaidiyah, hukuman atas tindak pidana hirabah berbeda-beda, tergantung pada
perbuatan yang dilakukan. Sebuah tindak pidana dianggap hirabah jika tidak
keluar dari empat bentuk:
·
Menakut-nakuti orang
dijalan di jalan tanpa mengambil harta atau membunuh orang.
·
Hanya mengambil harta,
tidak yang lain.
·
Membunuh saja.
·
Mengambil harta dan
membunuh.
Menurut fuqoha masing-masing perbuatan ini mempunyai
hukuman khusus. Imam Malik berpendapat bahwa imam (penguasa/kepala Negara)
berhak memilih hukuman atas muharib dari
hukuman yang ada di dalam nash (aturan) selama si muharib tidak membunuh, jika si muharib membunuh maka ia di jatuhi
hukuman mati atau di salib.
Referensi :
1.
Ibnul
Hammam, Syarh Fathul Qadir, jld.IV, hlm. 628
2.
Lihat
Alauddinal-kasani, Bada’I as-sana’I fi fi tarlbisy Syara’I, jld. VII, hlm. 90;
Muhammad Abdullah bin Quaddamah, Al-Mugniy ‘ala Mukhtasar Al-kharaqiy (penerbit
al-manar), cet. I, jld. X, hlm. 302; syarh Az-zarqani ‘ala Mukhtasar Khall (penerbit
Muhammad Afandi Musthafa), cet. I, jld. VIII, hlm. 108; Abu Yahya Zakariya
al-Anshari, Asnal Matalib Syarh Raudit Talib (penerbit Al-Maymaniyyah), cet. I,
jld. IV, hlm. 154; Muhammad Abdullah bin Quddamah, Al-Mugniy ‘ala Mukhtasar
al-kharaqiy (penerbit al-Manar), cet. I, jld. XI, hlm. 306.
3.
Ibnu
hazm, al-Muhalla, jld. XI, hlm. 315.
Abu Yahya Zakariya al-anshari, Asnal Matalib Syarh
Raudit Talib(penerbit Al-Maymaniyyah), cet. I, jld
Langganan:
Postingan (Atom)